Minggu, 26 Juli 2009

Historical Approach dalam Pemahaman Konsep Ruang Kerajaan Mataram Kuno

Pernah di presentasikan dalam SEMINAR NASIONAL ”PENELITIAN ARSITEKTUR-METODE DAN PENERANPANNYA SERI KE-2”

A. Historical Approach sebagai Pemahaman Konsep Ruang

Historical approach merupakan suatu pemahaman masa lalu dengan melihat fakta-fakta yang ada baik menyangkut ruang fisik, ruang waktu dan ruang secara umum dalam rentang waktu yang telah dibatasi dengan pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah melihat manusia, budaya dan ruang sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dilihat secara parsial.

Berawal dari melakukan interpretasi kemudian melangkah pada tahap eksplanation untuk dapat dijadikan universal teori. Interpretasi merupakan suatu usaha untuk memahami sejarah dengan melihat data-data yang ada sebagai suatu rentetan fenomena. Fenomena yang ada merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditafsirkan sepihak artinya peneliti harus melihat data secara murni dan harus tunduk dengan data yang ada. Tafsiran hanya dibutuhkan pada saat terjadi kehilangan sebagian data yang tidak diperoleh di lapangan dan sambil menunggu waktu masih memungkin kan dibuat penafsiran yang harus selalu di jadikan pertanyaan berulang. Misalnya dalam hal ini terjadi penafsiran lokasi istana Kerajaan Mataram Kuno yang sampai saat ini belum ditemukan secara pasti. Sampai saat ini banyak bermunculan intepretasi lokasi istana kerajaan.

Intepretasi sejarah dimulai dengan memunculkan beberapa pertanyaan yang sangat mendasar yang nantinya akan menjadi data yang valid. Pertanyaan itu adalah apa (what), dimana (where), kapan (when) dan siapa (who). Pertanyaan ini tidak sebagai tingkatan hirerkhis hanya sebagai alur pemikiran yang bisa dibolak-balik tergantung kondisi yang ada. Pertanyaan dasar dapat dilakukan dengan mengekplorasi data-data dari berbagai sumber sejarah (misalnya peninggalan fisik berupa buku, candi, prasasti dan buku referensi).

Intepretasi kemudian berkembang pada historical explanation (penjelasan sejarah) yang bisa dimaknai sebagai suatu usaha membuat unit sejarah intelligible yang dapat dimengerti secara cerdas (Kuntowijoyo, 2008 dan Sjamsuddin, 2007). Penjelasan sejarah menurut Kuntowijoyo, 2008, merupakan penafsiran dan mengerti (hermeneutics dan verstehen, yang menjelaskan tentang rentang waktu yang sangat panjang dan merupakan peristiwa tunggal). Penjelasan sejarah dilakukan setelah intepretasi data dirasa sudah mendukung atau tercukupi. Penjelasan sejarah harus dipahami sebagai usaha untuk melihat sejarah masa lalu dengan mampu melakukan secara deskriptif analitis. Pertanyaan pada tahap penjelasan sejarah terdapat dua macam yaitu mengapa (why) dan bagaimana (how). Pertanyaan mengapa dan bagaimana menuntut suatu analisa di belakangnya secara ekploratif. Latar belakang budaya, sudut pandang, konsep ruang sangat mempengaruhi jawaban mengapa dan bagaimana, begitu juga situasi dan kondisi yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Kausalitas sejarah yang menggambarkan sebab akibat antar peristiwa yang dapat dikembangkan menjadi fakta sejarah.Sejarah hendaknya dipahami sebagai fakta tunggal yang tidak dapat diubah dan dimengerti secara sepihak, artinya si peneliti berkewajiban mengikuti alur cerita yang ada dan tunduk pada fakta yang ada (Kuntowijoyo, 2008). Walaupun di satu sisi terjadi pertentangan menyangkut penggunaan interpretasi dalam menganalisis karena seringkali fakta dan data sudah tidak ada. Dalam hal ini si peneliti berhak memahami tanpa harus mengadili.

Eksplorasi sangat dibutuhkan dalam penelitian sejarah karena terkait dengan kedalaman data yang akan tersedia yang tentunya berdampak pada penjelasan yang akan bisa diberikan. Eksplorasi dilakukan dengan melihat data primer yang tersedia. Selain eksplorasi data fisik yang terlihat atau yang masih ada saat ini juga eksplorasi terhadap sumber-sumber data tertulis baik berupa referensi maupun karangan-karangan pada masa sejarah itu terjadi. Data-data fisik bisa berupa bangunan suci (candi), prasasti, daerah-daerah yang sudah ada sejak jaman kerajaan.

Analisa data dilakukan dengan mengekplorasi data yang ada dan menganalisanya dengan metode kualitatif dengan deskripsi yang analitis, sehingga memunculkan temuan data dan teori-teori yang dibangun yang kesemuanya dapat dijadikan universal teori.

B. Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Periode Jawa Tengah yang selanjutkan akan dinamakan Kerajaan Mataram Kuno, berada dalam kisaran waktu 732 – 929 M, dengan masa pemerintahan diawali oleh Raja Sanjaya (732 – 746 M) dan berakhir pada masa Raja Wawa (928-929) yang kemudian berpindah ke Jawa Timur. Kepindahan istana kerajaan disebabkan antara lain adanya pemberontakan yang dilakukan rakyat karena adanya kerja paksa dalam pembangunan Borobudur, depopulasi akibat adanya penyakit yang mematikan, serangan dari Kerajaan Sriwijaya, terjadi pendangkalan dermaga di Pergota dan berubahnya pemikiran bahwa Gunung Panunggalan lebih bagus dijadikan pusat kerajaan dibandingkan dengan Gunung Merapi. (Riboet,1998, Haryono, 1998, Moehkardi,2008, Raffles, 2008 ). Kerajaan Mataram Kuno saat itu lebih dikenal sebagai kerajaan agraris dengan didukung banyaknya gunung yang berapi. Antara lain Gunung Merapi dan Gunung Slamet yang sampai saat ini masih aktif. Banyak prasasti yang menceritakan tentang potensi kondisi fisik kerajaan antara lain Prasasti Canggal (732M), Prasasti Mantyasih (907 M) yang bercerita tentang kemakumran pulau jawa dan disebutkannya beberapa gunung pada saat itu.Letak kerajaan dengan adanya Gunung Merapi kemungkinan berawal dari pertimbangan bahwa suatu pusat kerajaan yang mengutamakan gunung atau tempat tertinggi sebagai pusat kerajaan. Wilayah Kerajaan Mataram Kuno meliputi sebagian wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hal ini bisa terlihat dari peninggalan-peninggalan yang tersebar di kedua wilayah tersebut. Peninggalan ini terkait dengan zone agama, yang bisa dikatakan zone penginggalan agama hindu adalah di sebelah selatan dan di sebelah utara adalah peninggalan agama Budha.

Kerajaan Mataram Kuno sampai saat ini sudah diketemukan kurang lebih 112 prasasti (Riboet, 1998) dengan ribuan candi atau bangunan suci. Bangunan suci tidak selalu berbentuk candi namun terkatang sebidang tanah datar. Sampai saat ini masih muncul pertanyaan yang sebenarnya sangat mendasar yaitu dimana istana kerajaan Mataram Kuno. Beberapa penelitian masih menjadikan letak istana sebagai dugaan yang belum bisa diyakini. Namun pada umumnya semua mengatakan secara umum yaitu bahwa istana Kerajaan Mataram Kuno pernah mengalami perpindahan istana yaitu :

  • Istana pertama di Medang I Bhumi Mataram (Yogyakarta) yang dibangun pada masa Sanjaya
  • Istana kedua di Medang I Mamrati pada masa pemerintahan Raja Pikatan dengan nama Mamratipura
  • Istana ketiga di Medang I Poh Pitu yang dibangun pada masa Raja Balitung. karena terjadi pemberontakan yang mengakibatkan hancurnya istana Mamrati sehingga istana berpindah ke daerah Medang I Poh Pitu dengan nama Yawapura
  • Istana keempat dan terakhir untuk Jawa tengah di Medang I Bhumi Mataram (diperkirakan di Yogyakarta)`pada masa Raja Wawa.

Istana Mamrati dan Medang I Poh Pitu menurut beberapa sumber berada di daerah Kedu. Salah satu istana yang diduga adalah Kompleks Candi Boko yang dikatakan sebagai salah satu istana kerajaan terbukti dengan lengkapnya fasilitas yang ada di kompleks candi Boko tersebut. Dikatakan Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berpusat di poros Kedu-Prambanan (Arkeologi.com).

Dari beberapa sumber dikatakan bahwa Pergota (Bergota, Semarang) dahulu merupakan dermaga yang digunakan Mataram Kuno dengan pertimbangan air lautnya lebih tenang dibandingkan dengan laut Selatan (Moehkardi, 2008). Sebelum memutuskan Pergota sebagai dermaga, Kerajaan Mataram Kuno masih bergantung dengan dermaga milik Kerajaan Sriwijaya. Sejalan dengan waktu wilayah pergota mengalami pendangkalan yang berakibat sulitnya Kapal berlabuh sehingga membuat muncul pemikiran untuk mencari dermaga yang lebih besar. Selain Pergota, hasil riset Tim Ekologi UNS mengatakan bahwa tepi Sungai Bengawan Solo di darah Semanggi, Solo dan Langenharjo Sukoharjo juga diceritakan sebagai dermaga Kerajaan Mataram Kuno.



Konsep Arah Mata Angin Terhadap Pemerintan dan Ruang Secara Makro

Raja pada masa jawa kuno dianggap sebagai wakil dewa. Seorang raja atau yang berkeinginan menjadi raja mencari legitimasi dengan menganggap dirinya sebagai titisan dewa di dunia. Misalnya Raja Balitung yang hanya sebagai menantu raja mencari legitimasi dengan mengaku dirinya titisan dewa Rudra (Prasasti Wanua Tengah III dalam Riboet, 1998)

  1. Raja Sebagai Utusan Dewa

Boechari, 1977 dalam Riboet 1998 menjelaskan tentang Astabrata (delapan perilaku dan sikap) yang menerangkan hak dan kewajiban seorang raja yang dikaitkan dengan tugas dewa , yaitu :

· Raja hendaknya sebagai Dewa Indra (dewa hujan, penjaga arah timur), hendaknya seorang raja yang mengucurkan kebahagiann kepada rakyatnya

· Raja hendaknya berperilaku seperti Dewa Agni (dewa api penjaga arah tenggara), harus membasmi musuh dengan segera

· Raja hendaknya sebagai Dewa Yama (Dewa Kematian, penjaga arah selatan), seorang raja harus menghukum orang yang salah tanpa pandang bulu

· Raja hendaknya sebagai Dewa Surya (Dewa Matahari, penjaga arah barat daya), ia selalu menghisap air secara pelahan selanjutnya dicurahkan ke bumi sebagai hujan maksudnya dalam penarikan pajak dilakukan tanpa membebani rakyat dengan cara pajak ditarik sedikit demi sedkit dan hasil pajak untuk kemakmuran rakyat

· Raja sebagai Dewa Waruna (Dewa Laut, penjaga arah barat) , seorang raja hendaknya mempunyai kecerdasan menghadapi kesulitan

· Raja harus sebagi Dewa Wayu (dewa angin, penjaga arah barat laut), ia harus menyusup ke mana saja untuk mengetahui hal ikhwal tentang rakyatnya

· Raja harus sebagai Dewa Kuwera (dewa kekayaan, penjaga arah utara), raja harus dapat menikmati kekayanaan miliknya

· Raja harus sebagai Dewa Soma(dewa bulan, penjaga arah timur laut), ia harus membahagiakan semua rakyatnya

  1. Pembagian Wilayah Kekuasaan

Empat arah mata angin sebagai simbol empat dewa penjaga mata angin dijadikan pembagian wilayah. Budiana, 1995, menjelaskan tentang empat jabatan tinggi (Rakryan atau samgat bawan atau rakryan mapatih) yang biasanya dilaksanakan oleh putera mahkot ke-1 sampai putera mahkota ke-4 dengan mendapat ¼ wilayah kekuasaan ibukota dan kerajaan. Empat jabatan tinggi itu adalah Yuwaraja (putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra kedua), Rajakumara (putra raja ketiga) dan Rajaputra (putra raja ke empat). Namun apabila putra raja tidak ada atau tidak menghendaki bisa dijabat oleh adik raja, kemenakan atau paman yang pada prinsipnya masih satu keturunan langsung dari raja.

  1. Konsep Pengelompokan Wanua

Wanua (desa) dipimpin oleh seorang rama atau tuha wanua. Seringkali karena kepentingan yang sama dan saling bekerja sama, dibentuk lima wanua dengan satu wanua sebagai inti yang berada di tengah. Posisi wanua yang bergabung berdasarkan posisi empat arah mata angin yang diatur oleh seorang rakai atau raka.

Empat desa sebagai simbol empat arah mata angin juga dilakukan pada saat upacara penetapan sima (Riboet, 1998) dengan mendatangkan rama atau tuha wanua dari empat desa di keempat arah mata anginnya. Atau bisa juga dengan mendatangkan delapan rama atau tuha wanua dari delapan desa di sekelilingnya yang sesuai dengan arah mata angin. Ini sebagai simbol dewa penjaga arah mata angin.

  1. Perletakan Bangunan Suci

Pada umumnya di atas bukit, di dekat sungai, lereng gunung dan di daratan didirikan bangunan suci. Pertimbangan pertama kali pada saat akan membangun bangunan suci adalah dengan melihat lokasi dengan potensi terbesar (Soekmono, 1974). Jika telah memenuhi syarat baru didirikan bangunan sucinya. Bangunan suci yang merupakan tempat singgah sementara para dewa (karena tempat tinggal dewa ada di kayangan) dibangun berdasarkan arah mata angin dengan pertimbangan orientasi kosmis dan chtonic. Orientasi kosmis timbul karena pemikiran manusia yang dihubungkan dengan alam semesta (kosmos) yaitu matahari, bulan dan bintang, sementara orientasi chtonic timbul karena pemikiran orang yang dihubungkan dengan bumi yaitu gunung, laut (air), pohon dan sungai (Winoto, 1998).

Contohnya pemilihan pusat kegiatan religi sebagai tempat pemujaan yang dipilih di Gunung Dieng dengan pemikiran bahwa di Dieng merupakan tempat bersemayamnyapara dewa danpara leluhur. Di Dieng dengan luas sekita 90.000 meter persegi terdapat kompleks candi dengan candi utama dan candi perwaranya dengan style candi hindu.

Bangunan suci salah satunya candi mempunyai style yang hampir seragam tergantung dari pembuatnya, apakah agama hindu atau agama budha. Candi-candi inti dibuat pada umunya lebih besar dari candi perwara. Candi perwara berada di sekeliling candi inti namun tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai lokasinya. Begitu juga dengan prasasti terdiri dari inti dan perwara. Perwara baik untuk candi maupun prasasti biasanya dibuat bukan oleh raja dan dibangun untuk menghormati rajanya.

Perletakan candi yang ada belum menjadi fokus dalam pembahasan ini karena sulitnya membuat pemetaannya, kerena terkakit dengan pertimbangan potensi lingkungannya dan peninggalan di sekelililinya. Misalnya seperti yang terjadi antara Candi Pawon, Candi Mendut dan Candi Borobudur merupakan satu poros .

Pembagian Wilayah dan Pemerintahan

Wilayah kerajaan mengandung arti bahwa disetiap arah mata angin terdapat dewa yang menjaganya. Pembagian wilayah di Kerajaan Mataram Kuno adalah sebagai berikut (Riboet, 1998; Boechari, 1977) :

  • Kedaton sebagai pusat kerajaan sebagai tempat tinggal raja dikelilingi tembok pemisah atau beteng. Kedaton sebagai lambang kosmis (alam magic) dikelilingi oleh delapan penjaga mata angin atau astadikpala
  • Jeron Beteng sebagai tempat tinggal kerabat raja (permaisuri dan selir) serta tempat tinggal watak I jro (kelompok orang dalam misalnya juru padahi sebagai pemukul kendang, juru widu yaitu pembawa cerita dalang dan mangidun yaitu sinden) dan abdi dalem palawija (pujuj, orang .yang cacat, jenggi bondanyaitu orang kulit hitam, pandak yaitu orang cebol dan wungkuk yaitu orang bongkok)
  • Di sekeliling tembok keraton sebagai tempat tinggal para prajurit dan pejabat di bawah Rakryan Kagnap yang bergelar rakai dan pamgat (pemegang lungguh)
  • Jobo Beteng sebagai tempat tinggal rakyat biasa. Jobo beteng terdiri dari wanua-wanua, sima, anak thani,lungguh dan pamgat
  • Mancanegara sebagai daerah tetangga keraton










Gambar 2. Skema Wilayah Kerajaan Mataram Kuno

(Sumber : Utami, 2009 modifikasi dari Riboet, 1995)







Kerajaan Mataram Kuno hanya mengenal pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat yaitu raja sementara pemerintah daerah yaitu wanua. Sementara pejabat-pejabat yang ada tidak mempunyai hubungan dalam pemerintahan. Pada umumnya pejabat tertentu hanya sekedar fungsinya saja. Pejabat itu antara lain anak thani (anak wanua),, ada rakai yang menjadi pengatur sekelompok wanua. Dalam melaksanakan tugasnya raja dibantu oleh beberapa pejabat tinggi kerajaan yang disebut Sang Mahamantri Katrini atau tuga mahamenteri yaitu Rakryan mahamantri I hino, rakryan mahamantri I halu dan Rakryan mahamantri I sirikan.

Nama-nama wanua bisa ditelusuri dari toponim nama yang ada saat ini yang umumnya juga berdasarkan prasasti sebagai sumber tertulis. Banyak prasasasti yang menyebutkan wanua yang ada di Kerajaan Mataram Hindu dengan wilayah di atasnya atau dibawahnya. Misalnya pada prasasti Poh (905 M), yang menceritakan Wanua Poh mempunyai anak wanua Rumasan dan Nyu yang kesemuanya termasuk lungguh Pamgat Kiniwang, Sementara pada Prasasti Salimar II dan VI tertulis bahwa Wanua Pakuwangi mempunyai anak wanua Kinawuhan, Sukweh, Kawi, Tangkil dan Patahunan. Pada umumnya prasasti menceritakan suatu wanua karena terkair dengan kenaikan status tanahnya atau daerahnya. Misalnya Raja Balitung yang menganggat lima patih yang ada di Mantyasih karena berhasil membantu raja dan mampu mengamankan darah rawan perampok sehingga Mantyasih dijadikan daerah perdikan (prasasti Mantyasih, 907 M.

Selain wanua, prasasti yang telah diketemukan banyak bercerita tentang penetapan status tanah suatu daerah dengan latar belakang pengangkatan status yang berbeda anata satu daerah dengan darah yang lain. Prasasti banyak juga yang bercerita tentang lokasi atau sungai yang kesemuanya dapat menjadi bukti tertulis bahwa peradaban Mataram Kuno saat itu sudah sangat luas bahkan pada masa Balitung Mataram Kuno sudah sampai Jawa timur dan Balo hal ini dibuktkan dengan adanya beberapa prasasti yang diketemukan di daerah tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Budiana, Setiawan, 1995, Pemilihan Kedudukan Pejabat Tinggi Kerajaan Mataram Kuno Pada Abad IX-X Masehi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Kuntowijaya, 2008, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Tiara Wacana, Yogyakarta

Moehkardi, 2008, Bunga Rampai Sejarah Indonesia Dari Borobudur hingga Revolusi 1945, Gama Media, Yogyakarta

Riboet Darmosoetopo, 1998, Hubungan Tanah Sima dengan Bangunan Kegamaan : Di Jawa Pada Abad IX-X TU, disertasi Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Timbul Haryono, 1994, Aspek Teknis dan Simbolis Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII-X, disertasi Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Raffles, Stamford, 2008, The History Of Java, Terjemahan, Narasi, Yogyakarta

Sjamsuddin, Helius, 2007, Metodologi Sejarah, Penerbit Ombak 2007

Winoto, Purbo, 1998, Pemilihan Lokasi Pendirian Candi Asu, Candi Pendhem, dan Candi Lumbung serta penyebab kerusakannya, Skripsi Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta



Studi Eksplorasi Ruang Kota Magelang Periode Kerajaan Mataram Kuno dan Mataram Baru




wahyuutami_dn@yahoo.com

(diterbitkan dalam Proseding Kegiatan Diskusi Nasional Arsitek Sastra Matra, Semarang, Juni 2009)




Abstrak

Magelang sudah ada sejak abad pertama dengan datangnya sejumlah orang asing yang kemudian membuat permukiman. Seiring dengan waktu wilayah Magelang berkembang walaupun masih sangat minim fasilitasnya. Adanya beberapa kerajaan yang menjadikan wilayah Magelang membuat Magelang semakin ramai apalagi lokasinya berdekatan dengan Gunung Merapi sebagai tempat suci dan diapit oleh sungai. Gunung dan sungai sangat mempengaruhi keberadaan daerah-daerah yang digunakan sebagai tempat bermukim dan sebagai penentuan bangunan suci. Kerajaan yang pernah menjadikan Magelang sebagai wilayahnya antara lain Kerajaan Mataram Kuno dan Kerajaan Mataram Baru.

Kata Kunci : Kerajaan, Kota , Magelang

A. Latar Belakang Geografi dan Legenda Kota Magelang

Magelang terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 375 dpl, dengan keunikan dikelilingi gunung dan di tengahnya terletak bukit Tidar. Menurut Djuliati, 2000, Magelang masuk dalam Karesidenan Kedu. Dari segi geografis lokasi ini terletak kurang lebih di tengah –tengah pulau Jawa. Karesidenan Kedu adalah karesidenan satu-satunya yang tidak berbatasan dengan laut. Bahkan ada legenda yang sampai saat ini masih dikenang masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Magelang bahwa bukit Tidar yang ada di Magelang merupakan pakuning pulau Jawa. Pakuning(pakunya) pulau Jawa di sini diartikan jika bukit Tidar ini runtuh maka pulau Jawa akan goyah atau bisa juga dikatakan bahwa bukit Tidar ini sebagai penyeimbang pulau Jawa.

Menurut beberapa sumber cerita rakyat diceritakan tentang datangnya serombongan orang Rum yang dipimpin Raja Pendeta Ngusmanaji mencoba masuk ke wilayah Jawa khususnya Kedu tahun 78 M, akan tetapi gagal karena terserang penyakit. Rombongan kedua yang disengaja tanpa orang Rum yaitu dengan mendatangkan orang-orang Keling, Seiloh dan Siam, mencoba membuka lahan kembali yang dimulai ekspedisinya tahun 83 M dan pada tahun ke lima berhasil menguasai keadaan pada tahun 88 M dengan menancapkan tongkat tumbal di 5 lokasi di Jawa, salah satunya di Bukit Tidar oleh Sheikh Bakir.

1.1.1 Periode Mataram Kuno

Bermula dengan Raja Sima yang sangat terkenal dari Kalingga melarikan diri karena gempuran dari kerajaan yang ada di Jawa Barat dan akhirnya mendapat tempat di Lereng Gunung Merapi (Prasasti Canggal), maka dimulailah babak baru berkembangnya kawasan Magelang sekarang ini. Raja Sanjaya yang membuat prasasti Canggal tahun 732 M, di Gunung Wukir, Lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang menjadi Raja Mataram Kuno yang pertama.

Magelang dengan latar belakang Bukit Tidar dirasa sudah ada jauh sebelum berdirinya kerajaan baru yaitu Kerajaan Medang, apalagi ditunjang dengan adanya Prasasti Tuk Mas (Kabupaten Magelang) dengan tertanggal tahun 500 M yang bercerita tentang adanya sumber air yang bersih yangdisamakan dengan Sungai Gangga. Pada masa Kerajaan Mataram Hindhu, Magelang diperkirakan mulai dikenal lebih luas pada masa pemerintahan Rake Watukara Dyah Balitung (898-908 M) dengan memerdekakan beberapa daerah yang ada di Magelang mulai tahun 905 M yang tertuang dalam prasati Poh (905M). Pada masa pemerintahan Raja Balitung istana Mataram Hindhu berada di daerah Medang I Poh Pitu (Kedu). Daerah yang dijadikan daerah perdikan adalah daerah Mantyasih dan Poh sebagai daerah untuk melakukan persembahan dengan dibangun Sima.




Disebutkan dalam Prasasti Mantyasih bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan “Mantyasih” yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan. Selain Prasasti Mantyasih juga sebelumnya telah ada Prasasti Poh yang terletak di Kampung Dumpoh (sekarang). Riboet Darmosoetopo, 1998, menceritakan bahwa terdapat jalan panjang yang melintasi desa, sawah sungai gunung atau hutan yang pada saat tertentu dilewati para pejabat desa atau pejabat lungguh yang akan menyerahkan pajak dan upeti kepada raja jalan ini juga dilewati pada pedagang yang pergi kepasar tidak jarang mendapat gangguan baik ari becu maupun begal. Apalagi desa kuning (yang terletak di sebelah Barat Laut Kota Magelang) dilewati jalan raya menuju ke parakan. Oleh karena itu turunlah anugrah kepada lima patih dari matyasih berupa tanah sima : kelima orang patih ini diberi tugas untuk mengamankan desa dan menjagai jalan di desa kuning dari kerusuhan. Selain tentang daerah perdikan dalam Riboet, 1998, menceritakan tentang isi Prasasti Mantyasih yang terkait dengan Raja-raja Mataram Kuno. Selain bercerita nama-nama raja mataram, isi Prasasti Mantyasih (sumber : Riboet Darmosoetopo, 1998) antara lain :

No

Tulisan dalam prasasti

Arti dalam bahasa Indonesia

A : 4

.... paknanya pagantyagantyana ikanang patih mantyasih sanak lawasnya tlung tahun sowang...

perintah raja supaya (kelima) patih mantaysih bergantian (menguasai tanah sima) setiap orang tiga tahun lamanya....

A : 5-7

.... sambandha yan inanugrahan sangka yan makwaih buatthaji iniwonya i cri maharaja kala warangan haji lain sangke kapujan bhatara...ing pratiwarsa. mung sangka yang antaralika katakutan ikanang wanua i kuning. sinara bharanta ikanang patih rumaksa i kanang hawan....

alasan (kelima orang patih) dianugrahi sebab banyak pengabdian yang diberikan kepada cri maharaja saat kawin. selain karena mereka mengadakan pemujaan pada bharata....setiap tahun dan mereka telah dapat mengamankan desa kuning. tugas menjaga jalan dibebankan kepada mereka.

A : 6- 7

... muan sahka yan antaralika katakutan ikanan ih kunin. sinarabharanta ikanan patih rumaksa ikanan hawan....

... dan karena desa kuning selalu ketakutan (karena kerusuhan) kilma patih (dari mantyasih) diberi tugas menjaga jalan (di desa kuning)

A : 7-9

.... kunang parnnahanya tan katamana de sang pangkur. tawan. tirip. muang saprakraning mangilala drawya haji kring. padamapuy.tapahaji.aor haji.ratji.makalangkang.mangrumbai.mapadahi.manghuri.limus galuh.sambal.paranakan.kdi.widu,mangidung,hulun haji ityaiwamadi tan haha deya tumama iriya...

adapun ketentuannya tidak dimasuki oleh pangkur, tawan, tirip,dan semuanya yang tergolong mangilala drawya haji(terdiri)kring,padamapuy (pemadam kebakaan),tapahaji,air haji,rataji,makalangkang (penjemur hasil panen),mangrumbai,mapadahi (pemukul kendang), manghuri,limus galuh,sambal,paranakan,kdi(wanita "wadat"), wid u (penari), mangindung (penyangi), hulun haji (budak raja) dan sebgainya tidak diperkenankan memasuki tanah sima.




B : 20-21

....nahan cihnan yan mapageh ikanang wanua i mantyasih muang i kuning kagunturan inanugrahakna ri kanang patih mantyasih sia kepatihan ...

demikian telah teguh desa di mantaysih, di kuning dan di kagunturan telah dianugrahkan kepada patih mantyasih(menjadi) sima kepatihan

A : 4 ;

B : 20-21

.... paknanya pagantyagantyana ikanang patih mantyasih sanak lawasnya tlung tahun sowang .... yan ana ngwang umulahulah ikaing sima pinaduluranwadwa rakyan sinusu kudur...

perintah raja supaya (kelima) patih mantaysih bergantian (menguasai tanah sima) setiap orang tiga tahun lamanya.... jika ada orang mengganggu sima pinaduluran ini....

B : 2

.....saprakarani saji sang makudur ing mandala inmas pinda pasamasnya su 2 ma ku 4 ...

artinya segala jenis sajian untuk san makudur di tempat upacara diganti dengan uang emas, besarnya 2 su 4 ku uang emas.

B : 3-4

.... i sampuning manadah mangdiri sang makudur lumkas manapata mamantingaken hantrini....

setelah selesai makan berdirilah sang makundur segera mengucapkan mantera dan membanting telur.

Sebelum Prasasti Mantyasih dibuat, di Magelang juga dibuat Prasasti Poh yang saat ini daerahnya dikenal dengan nama kampung Dumpoh yang letaknya juga berdekatan dengan Sungai Progo. Prasasti Poh menyebutkan tentang adanya daerah perdikan di daerah Poh dan juga daerah- daerah yang lain Selain itu juga disebutkan bahwa daerah Poh merupakan daerah untuk persembahan. prasasti poh menyebutkan bahwa wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan Nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang (..... wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang..... poh 827 C) artinya desa poh, dusun rumasan dan dusun nyu semuanya termasuk lungguh kinawang. Wanua berarti desa pada saat itu. Timbul Haryono,1994 menceritakan tentang Prasasti Randusari 905 M yang menceritakan para tetua di desa Poh, di Rumasan, di Nyu mempersembahakan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Prasasti Poh (905 M) disebutkan sekelompok seniman yang ikut hadir pada upacara penetapan sima di Poh mendapat pasek-pasek. Mereka adalah pemain musik (penabuh) dan penari.

Istana Mataram Hindhu selama berkuasa di Jawa Tengah mempunyai 4 istana yang digunakan dengan periode yang berbeda. Awalnya istana terletak di Medang I Mataram yang terletak di Yogyakarta, kemudian berpindah ke Medang I Pikatan (diperkirakan di daerah kedu), kemudian di Medang I Poh Pitu (diperkirakan di daerah kedu) dan pada akhirnya berpindah ke Medang I Mataram (di Yogyakarta). Untuk saat ini analisa perpindahan istana karena seringnya ada penyerbuan dan pemberontakan, selain itu juga terkait dengan keamanan dan kebijakan raja yang berkuasa. Konflik ruang seringkali terjadi seiring dengan adanya perebutan kekuasaan dan perluasan wilayah kekuasaan. Konflik ruang yang sering terjadi mengakibatkan munculnya ruang-ruang baru.

Magelang bisa jadi bukan sebagai istana kerajaan Kerajaan Mataram Hindhu, namun karena lokasinya yang sangat strategis karena terletak di pinggir sungai sebagai jalur transportasi juga karena termasuk jalur ke Gunung Merapi dimana pada masa Mataram Hindhu, sungai dan gunung merupakan daerah yang dijadikan tempat persembahan.


Riboet, 1998, menuliskan tentang pembagian wilayah kerajaan pada masa jawa kuno dapat berdasarkan aturan adat atau kebijaksanaan seorang raja. Pembagian wilayah pada masa mataram kuno adalah sebagai berikut :
  • · kedaton sebagai pusat kerajaan dilingkungi tembok sebagai pemisah. Kedaton sebagai lambang kosmos (alam magis) dikelilingi oleh delapan dewa penjaga mata angina atau astadikpala (Heine Geldern, 1943)
  • · diluar kedaton ada wilatah keraton yang juga dikelilingi tembok atau beteng sehingga ada istilah jeron beteng atau watak I jro (kelompok orang dalam) . Di dalam keraton inilah para kerabat raja, permaisuri dan selir bertempat tinggal.
  • · Kecuali itu kelompok yang disebut watak I jro bertempat tinggal di dalam benteng. Mereka yang masuk dalam watak I jro adalah kelompok juru padahi (pemukul kendang), widu (pembawa cerita, dalang), mangidung (pesinden), arawan asta (penari), mamanah, magalah, magandi (pengawal raja membawa senjata panah, tombak, dan bindi), pandai mas, pandai simsim (kemasan dan tukang membuat cincin), pawdihan (tukang batik), pamahat (pemahat), dan panatah (tukang mengukir wayang). Termasuk didalamnya adalah golongan yang disebut abdi dalem palawija yang terdiri dari pujut (orang yang cacat tubuhnya), jenggi bondan (orang kulit hitam), pandak (orang cebol), dan wungkuk (orang bongkok) (Boechari 1977a : 13).

Riobet, 1998, menjelaskan demi keamaman para prajurit dan pejabat dibawah rakryan kagnap yang bergelar rakai dan pamgat (pemegang lungguh) bertempat tinggal di sekililing tembok keraton, meskipun tanah lungguhnya terletak di jauh dari keraton. Tanah lungguh itu sendiri adalah (apanage) daerah yang diserahkan kepada seseorang : penerima tanah lungguh berhak atas keuntungan dari tanh itu dan juga dari penduduk. Tanah bengkok (catu =rangsum, gaji) adalag tanah yang diserahkan kepada seseorag, hasil tanah itu sebagai gajinya. Keraton beserta daerah sekitarnya termasuk tanah lungguh dan tanah bengkok, merupakan nagaragung atau daerah inti. Desa (wanua atau thani) beserta dusunnya (anak wanua atau anak thani) beserta tanah lungguh pada zaman jawa kuno terletak di begaragung. Di luar nagaragung terdapat daerah yang dikuasai oleh para haji, atau raja vazal.

1.1.2 Periode Mataram Baru

Ada cerita legenda yang cukup menarik untuk membahas munculnya kembali Magelang dalam panggung sejarah, yang diawali dengan adanya usaha Panembahan Senapati untuk menguasai daerah Magelang yang diceritakan dalam Babad Alas Kedu. Setelah mengalami kemunduran masa kejayaan, Magelang khususnya Bukit Tidar telah dikuasai oleh Raja Jin Sepanjang. Panembahan Senapati kemudian menyuruh beberapa tokoh masyarakat untuk membantu mengusir Raja Jin Sepanjang. Muncullah kemudian Kyai Keramat yang membantu namun akhirnya tewas di daerah sebelah utara (keramat atau di Desa Kramat, sekarang), kemudian Raja Jin Sepanjang lari ke arah Selatan dan dikejar oleh Nyai Bogem (tewas akhirnya muncul daerah Bogeman), Patih Mertoyudo (tewas akhirnya muncul daerah Mertoyodan) dan Raden Krincing (tewas akhirnya muncul daerah Krincing). Selain itu juga muncul nama-nama daerah sebagai daerah-daerah pertempuran antara lain Bodongan, Plikon dan Geger.

Setelah melalui masa jayanya sekitar dua abad, wilayah Magelang dan sekitarnya menurut teori Van Bammelen, menghilang akibat dari letusan Gunung Merapi tahun 1006 yang dibarengi juga dengan hilangnya Kedu dan Mataram Hindhu dari panggung sejarah. Letusan Gunung Merapi mengakibatkan gempa yang sangat besar dan disertai hujan material vulkanik yang kesemuanya itu membentuk Gunung Gendol dan Pegunungan Menoreh.

Djuliati, 2000, Kedu atau dalam hal ini Magelang baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat). Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang beras bagi kerajaan Mataram. Hal ini selain didukung oleh tanahnya yang subur sebagai gudang beras, juga sanat cocok untuk tanaman perkebunan dan juga sebagai daerah yang mempunyai potensi alam yang indah. Menurut Nessel, 1935, setelah ada perang Jawa yang menghasilkan perjanjian Gianti, Tahun 1755 wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ditambahkan oleh Djuliati, 2000, ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan memaksanya untuk menerima syarat-syarat yang diajukan yang antara lain menyerahkan sebagian dari wilayah nagaragungnya termasuk Kedu sebagai gudang beras. Kedu saat itu masuk dalam dua wilayah penguasa yaitu wilayah Surakarta dan wilayah Yogyakarta. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran konsentris yang berpusat di kraton dan Magelang masuk dalam daerah Kedu yang merupakan nagaragung dari Mataram. Pada saat itu kerajaan secara umum terbagi dengan batas sungai yaitu di sebelah barat dengan sebutan siti bhumi sementara di sebelah timur dengan sebutan siti bhumijo.

Magelang pada waktu itu merupakan daerah sebagai kebun milik raja atau kebon dalem, yaitu kebun milik Sri Sunan Pakubuwono. Ini dibuktikan dengan adanya artefak yang sampai saat ini masih ada nama kawasan dengan kekhasan nama hasil kebun sepanjang kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman yang merupakan deretan kebun, antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon) dan kebun bayem (Bayeman). Bersumber dari beberapa data yang ada di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kota lama menurut versi “Kerajaan Mataram Baru ” pada awalnya pada masa "Kerajaan Mataram Kuno" berpusat di Mantyasih dan Poh, berkembang ke arah Timur dengan batas wilayahnya di sekitar Bayeman sampai Potrobangsan dengan pusat di kelurahan Magelang yang saat itu disebut dengan Kebondalem.

Kesimpulan

Ruang-ruang yang ada di kota Magelang ternyata sudah banyak ada sejak jaman mataram kuno yang dibuktikan selain dengan adanya prasasti yang terletak di Magelang juga dari isi prasasti itu sendiri. Ruang-ruang yang ada dimunculkan oleh banyak sebab yang antara lain dikarenakan munculnya daerah-daerah perdikan, tanah sima atau juga penggunaan lahan atau wilayah sebagai peruntukan fungsi kerajaan atau bahkan adanya perebutan kuasaan juga seringkali mengakibatkan munculnya ruang-ruang baru karena adanya konflik ruang. Pemanfaatan beberapa wilayah di Magelang diawal disebabkan dekatnya dengan gunung berapi dan sungai seiring dengan waktu, pada masa Mataram Baru, Magelang dilihat karena tanahnya yang subur dan menguntungkan.

Daftar pustaka

Colombijn, Freek, 2005, Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan, Ombak, Yogyakarta

Colombijn, Freek, 2006, Paco-Paco (Kota) Padang, Sejarah Sebuah Kota di Indonesia Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, Ombak, Yogyakarta

Djuliati, 2000, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta

Haryono, Timbul, 1994, Aspek teknis dan simbolis artefak perunggu jawa kuno abad VIII-X, Disertasi, Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta

Irma, Saptaningrum, 2007, Pengelolaan Kawasan Arkeologi di Kota Magelang Thesis Fakultas Sastra, Jurusan Arkeologi 2007

Moehkardi,1988, Catatan Bahasan Atas Makalah Drs.Soekimin Adiwiratmoko”Penelususran Nama dan Hari Lahir Kota Magelang”, Magelang

Nessel Van Lissa, 1930, Uit Het Verleden Van Magelang, Magelang

Pemerintah Daerah Kota Magelang, 1998, Hari Jadi Kota Magelang

Raffles, 2008, The History of Java (Terjemahan), Yogyakarta

Riboet, Darmosoetopo,1998, Hubungan tanah sima dengan bangunan kegamaan : di Jawa pada abad IX-X TU . Riboet Darmosoetopo, Disertasi Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta

Utami, Wahyu, 2001, Elemen-Elemen Dominan Dalam Perkembangan Kota Magelang, Thesis S-2 Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Utami, Wahyu, 2004, Pola Permukiman Indis Karya Karsten. Studi Kasus : Kwarasan, Magelang, Jurnal Arsitektur FT UMJ “NALARS”, Volume 3 Nomor 2, Jakarta 2004, ISSN 1412 – 3266


(sudah diterbitkan dalam Proseding dalam Kegiatan Diskusi Nasional ARSITEK SASTRA MATRA, diselenggarakan Jurs. Arsitektur Undip, Semarang, 9 Juni 2009)

.