Kamis, 19 Juni 2008

PENYIMPANGAN PERLETAKAN ELEMEN IBU KOTA KABUPATEN DI JAWA

Wahyu Utami
Staf Pengajar Arsitektur USU

Penelitian ini merupakan salah satu hasil temuan dalam hasil akhir thesis yang dilakukan penulis tahun 2000 atas bimbingan Ir. Sudaryono, M.Eng, P.hD dan Ir.Bakti Setiawan, MA, P.hD sebagai staf pengajar Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Teknik Program Studi Arsitektur UGM, Yogyakarta

Abstrak
Penelitian ini memaparkan salah satu penyimpangan pola umum perletakan elemen-elemen di ibu kota kabupaten di Jawa. Tipologi kota-kota di Jawa khususnya ibu kota kabupaten dan ibu kota karesidenan mempunyai dengan adanya keseimbangan antara penguasa local (pribumi) dengan penguasa kolonial. Ini diwujudkan dengan perletakan elemen awal yaitu alun-alun sebagai simbol pusat kekeuasaan yang diseimbangkankan kadipaten (kantor bupati) di sebelah Selatan dan karesidenan (kantor residen) atau rumah asisten residen di sebelah Utara. Perletakan elemen-elemen berikutnya adanya masjid di sebelah Barat, adanya penjara, militer dan fasilitas penunjang saat itu.

Keywords : penyimpangan, tipologi, elemen


KESIMPULAN



Pola kota yang ada di Magelang mempunyai pola yang berbeda dengan kota-kota di Jawa khususnya ibu kota kadipaten dan ibu kota Karesidenan. Jika di kota-kota Jawa terdapat pola penyeimbangan penguasa lokal (berhubungan dengan kerajaan) dan kolonial dengan perletakan istana raja (kadipaten) di sebelah selatan yang berhadapan dengan kantor karesidenan atau asisten residen yang berada di sebalah utara dengan di tengahnya adalah alun-alun, namun di Magelang justru tidak menonjolkan keseimbangan penguasa lokal dan kolonial tersebut karena pertimbangan fungsi dan alam yang ada, karena perletakannya yang tidak menggunakan sumbu utara-selatan. Kadipaten sebagai replika istana raja berada di sebelah utara alun-alun sementara karesidenan berada di sebelah barat alun-alun. Sementara pada posisi selatan alun-alun digunakan sebagai sekolah Belanda dan pribumi dikenal dengan MOSVIA. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan yang terjadi jika dikomparasikan dengan pola umum kota kolonial dan kota indis di Jawa dan kota Magelang mempunyai kesamaan dengan kota Sumedang (Yoyok, 2001) yang posisi kadipaten tidak berada di sebelah Selatan alun-alun dan tidak terjadi penyeimbangan posisi kekuasaan lokal dan kolonial.
Penyeimbangan kekuasaan kolonial terletak pada perletakan elemen kolonial yang lebih dominan dibanding elemen tradisional terutama di pusat kota yaitu adanya gereja, MOSVIA, Kamar Bola, Gudang Candu dan Water Torn (menara air) yang merupakan fasilitas-fasilitas pendukung yang digunakan oleh masyarakat kolonial saja. Selain itu juga adanya perumahan bagi pejabat penting kolonial yang berada di sekitar alun-alun sebagai pusat kota.
Hal ini kemungkinan terkait dengan peran sebagai kota pemerintahan yang kurang dominan dan justru lebih ke kondisi alamnya. Juga karena peranan Magelang saat itu sebagai kota gudang beras dan stabilisator daerah hinterland di sekitarnya dan yang paling penting yaitu peranan magelang pada saat itu adalah menghubungkan daerah Yoyakarta dan Semarang sebagai gudang senjata serta Surakarta sebagai gudang bala tentara.
Selain penyeimbangan dengan cara perletakan elemen kolonial secara dominan juga dengan adanya perletakan elemen kolonial di dalam elemen tradisional yang dianggap penting dan besar peranannya dalam mendukung posisi kolonial saat itu sehingga terjadi percampuran elemen tradisional dan kolonial. Ini terlihat adanya perletakan elemen kolonial di dalam elemen tradisional yaitu kadipaten sebagai replika istana raja dan perletakan elemen kolonial di dalam alun-alun sebagai simbol pusat kekuasaan.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen P&K, 1999, Inventarisasi Bangunan Kolonial di Magelang, Magelang
Dinas Pariwisata Kota Magelang, 2000, Magelang Tempo Dulu, Magelang
Djuliati, 2000, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta
Handinoto, 1996, Perkembangan Kota Dan Arsitektur Kolonial di Surabaya 1870-1940, Andi Offset, Yogyakarta
Handinoto,. Soehargo, H Paulus, 1996, Perkembangan kota dan Arsitektur Kolonial belanda di Malang, Andi Offset, Yogyakarta
Nessel Van Lissa, 1930, Uit Het Verleden Van Magelang, Magelang
Pemerintah Daerah Kota Magelang, 1998, Hari Jadi Kota Magelang
BPS Jawa Tengah, 1990, Selayang Pandang Jawa Tengah 1990, Semarang
Soekiman, Djoko, 2000, Kebudayaan Indis, Yayasan Bentang Budaya, Cetakan Pertama, Yogyakarta
Utami, W., Suryasari, N.,2000, Sejarah Perkembangan Kota Magelang, Mata Kuliah Sejarah dan Arsitektur Urban, Program Studi Teknik Arsitektur Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Utami, Wahyu, 2001, Elemen-Elemen Dominan dalam Perkembangan Kota Magelang, Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Tulisan ini pernah diterbitkan di Jurnal Simetrika Fakultas Teknik USU, Medan

Awal Negeri Magelang


Diceritakan Magelang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Hindhu (Mataram Kuno). Dalam Prasasti Mantyasih bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan “Mantyasih” yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan. Setelah melalui masa jayanya sekitar dua abad, wilayah Mantyasih menghilang akibat dari letusan gunung berapi yang dibarengi juga dengan hilangnya Kedu dan Mataram Hindhu dari panggung sejarah. Djuliati (2000) Kedu baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat). Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang beras bagi kerajaan Mataram. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran konsentris yang berpusat di kraton dan Magelang masuk dalam daerah Kedu yang merupakan nagaragung dari Mataram. Magelang pada waktu itu merupakan daerah sebagai kebun milik raja atau kebon dalem, yaitu kebun milik Sri Sunan Pakubuwono. Ini dibuktikan dengan adanya artefak yang sampai saat ini masih ada nama kawasan dengan kekhasan nama hasil kebun sepanjang kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman yang merupakan deretan kebun, antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon) dan kebun bayem (Bayeman). Bersumber dari beberapa data yang ada di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kota lama menurut versi “kerajaan” pada awalnya ada di daerah Mantyasih yang kemudian berkembang ke arah Timur dengan batas wilayahnya di sekitar Bayeman sampai Potrobangsan dengan pusat di kelurahan Magelang yang saat itu disebut dengan kebondalem.
Menurut Nessel (1935), setelah ada perang Jawa yang menghasilkan perjanjian Gianti, Tahun 1755 wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ditambahkan oleh Djuliati (2000), ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan memaksanya untuk menerima syarat-syarat yang diajukan yang antara lain menyerahkan sebagian dari wilayah nagaragungnya termasuk Kedu sebagai gudang beras.

Masjid kota Magelang yang berada di sebelah Barat Alun-Alun dibangun tahun 1810 pada masa pemerintahan bupati Magelang pertama bernama Mas Ngebehi Danoekromo. pada saat bersamaan selainMasjid, bupati Danoekromo juga membangun alun-alun dan kadipaten (terbakar pada agresi pertama dan dibuat replikanya, sekarang gedung BPK).


Seperti kota-kota di jawa yang dipengaruhi oleh kota kerajaan dan kedatangan kolonial, masjid di Magelang dilengkapi dengan kompleks pemakaman (kauman) yang berada di sebelah barat masjid.

Jumat, 06 Juni 2008



Latar Belakang Geografi Kota Magelang


Magelang terletak di dataran tinggi dengan ketinggian ± 375 dpl, dengan keunikan dikelilingi gunung dan di tengahnya terletak bukit Tidar. Dari segi geografis lokasi ini terletak kurang lebih di tengah – tengah pulau Jawa. Bahkan ada legenda yang sampai saat ini masih dikenang masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Magelang bahwa bukit Tidar yang ada di Magelang merupakan pakuning pulau Jawa. Pakuning (pakunya) pulau Jawa di sini diartikan jika bukit Tidar ini runtuh maka pulau Jawa akan goyah atau bisa juga dikatakan bahwa bukit Tidar ini sebagai penyeimbang pulau Jawa.
Van Bemmelen dalam Moehkardi (1988) menyebutkan bahwa daerah Magelang – Selatan di jaman purba pernah terbentuk telaga yang cukup luas. Telaga ini terbentuk sebagai akibat ledakan gunung berapi yang laharnya mengalir ke barat dan menyumbat aliran sungai Progo di Timur Laut kaki pegunungan Menoreh. Setelah berabad – abad, sumbatan yang membendung sungai progo itu hilang termakan erosi sungai progo sehingga akhirnya menjadi kering
So, saya mohon dengan kerendahan hati saya agar kawan-kawan khususnya pemerhati kota Magelang dan para peneliti secara umum bisa memberi masukan positif.
Blog ini saya ciptakan seiring dengan bertambahnya kecintaan terhadap tanah kelahiran yang semakin lama kok semakin menantang untuk lebih ditelusuri.

Nama Saya Wahyu Utami
Sejak tahun 1999 (tepatnya saat saya mulai masuk S-2 Teknik Arsitektur UGM) saya bertekad ingin ngulak-ulik kota Magelang yang menjadi kota kelahiran dan kota dimana Saya dibesarkan. dan saat ini saya juga berencana melakukan penelitian lanjutan tentang Kota Magelang. Tidak sejarah kota secara murni namun melihat faktanya Magelang merupakan kota yang sudah ada sejak jaman Mataram Hindhu dan melewati proses kota kolonial dan tentunya kota pasca kemerdekaan, makanya tentu dalam penelitian Magelang juga akan membicarakan sejarahnya.

Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya ingin berbagi tentang kota Magelang dan tentunya saya juga ingin juga kita bisa saling berbagi tentang kota Magelang atau yang terkait.