Minggu, 21 September 2008

Pola Umum Kota Indis Magelang


Seperti dikatakan Nas (1980) tentang penggolongan kota dalam empat kelompok yaitu kota awal Indonesia, kota indis, kota kolonial dan kota modern maka Magelang dimasukan dalam kelompok kota indis. Sebagaimana dikatakan Soekiman (2000) pola kota indis merupakan perpaduan kota tradisional dan kota kolonial. Istilah kata tradisional diartikan budaya lokal dan potensi alam lokal.
Magelang merupakan kota indis yang memanfaatkan bentukan alam dan keindahan alam sebagai pertimbangan perkembangan kota, didukung oleh pola awal kota yang mengunakan pola tradisional yang kemudian setelah Belanda datang menggunakan pola kolonial yang dipengaruhi oleh pola tradisional. Adanya kadipaten sebagai replika dari rumah penguasa tertinggi pribumi (raja) yang menghadap ke alun-alun dengan pohon beringan di tengahnya, Masjid, Kantor Karesidenan, Gedung Pengadilan, rumah penjara, gedung garam, kantor pos-telegraf-telepon (PTT), Klenteng, Pecinana, Pasar dan stasiun kereta api di dua lokasi (utara dan selatan kota). Perkembangan kota cenderung ke Utara-Selatan seiring dengan bentukan fisik kota Magelang yang dibatasi oleh dua sungai di sebelah Timur dan Barat. Selain itu bentuk-bentuk bangunan yang ada juga menggunakan bentuk bangunan indis yang merupakan perpaduan bangunan kolonial dan gaya lokal. Naik turunnya kontur dimanfaatkan untuk penempatan bangunan dengan mempertimbangkan fungsinya.
Utami, 2000, alasan utama pemilihan kota Magelang dikuasai kolonial yaitu karena alamnya yang indah dan sebagai gudang dan pemasok bahan makanan. Posisi Magelang yang dapat memantau wilayah sekitar terutama tiga kota penting yaitu Yogyakarta, Solo dan Semarang juga menjadi alasan bagi penguasaan Magelang. Alasan lainnya karena posisi wilayah gerilya para pejuang pribumi saat itu yang lebih banyak menggunakan pegunungan dan perbukitan. Alasan kedua ini terkait erat dengan posisi Magelang yang dikelilingi oleh perbukitan dan gunung (Menoreh, Sumbing, Merapi, Perahu dan Sindoro). Saat itu kolonial merasa kesulitan untuk mengawasi gerilya pribumi karena itu diperlukan penguasaan wilayah yang dapat memantaunya yang salah satunya adalah Magelang. Posisi Magelang yang dikelilingi perbukitan dan gunung tersebut selain menguntungkan dari posisi juga menguntungkan dari segi alam.
Pola kota yang ada di Magelang mempunyai pola yang berbeda dengan pola umum kota di Jawa. Jika di kota-kota Jawa terdapat pola penyeimbangan penguasa lokal dan kolonial namun di Magelang yang terjadi justru tidak menonjolkan keseimbangan penguasa lokal dan kolonial tersebut dengan perletakan penguasa berhadapan di sekitar alun-alun. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan dengan pola umum kota kolonial dan kota indis di Jawa. Penyeimbangan kekuasaan kolonial terletak pada perletakan elemen kolonial yang lebih dominan dibanding elemen tradisional terutama di pusat kota. Hal ini terkait dengan peran sebagai kota pemerintahan yang kurang dominan dan justru lebih ke kondisi alamnya. Misalnya perletakan Kantor Karesidenan Kedu yang berada di sebelah barat alun-alun serta tidak menghadap Timur sebagai jalan utama namun justru menghadap ke Barat ke arah deretan gunung. Kemungkinan besar keterkaitan antara pemandangan alam (gunung) dengan posisi karesidenan juga tentang strategi tentara gerilya lokal (Pangeran Diponegoro) yang menggunakan jalur pegunungan. Beberapa perkantoran mempunyai view ke arah barat yang memang keindahan kota Magelang bisa terlihat. Rumah petinggi Belanda mempunyai view alam yang indah dengan mengolah tapak dan mempergunakan tapak.
Ruang-ruang terbuka, antara lain alun-alun, Taman Badaan, areal Bukit Tidar dan masih banyak lagi memberikan ruang gerak bagi aktivitas masyarakat untuk menggunakannya baik sebagai pusat aktivitas maupun ruang gerak udara dan air. Sampai saat ini Magelang tidak mempunyai masalah dengan ruang terbuka. Penambahan lahan terbangun terfokus di pusat kota (justru masalah di konservasi bangunan) dan di bagian Utara-Selatan sebagai daerah pengembangan kota.



Jumat, 19 September 2008

Elemen-Elemen Dominan Dalam Perkembangan Kota Magelang

-Sinopsis Thesis-
Empat Konsep Menelusuri Elemen Dominan Dalam Perkembangan Suatu Kota
(Studi Kasus : Perkembangan Kota Magelang, Jawa Tengah)

Wahyu Utami,ST,MT wahyuutami_dn@yahoo.com


Pembimbing :
Ir. Sudaryono, M.Eng, P.hD
Ir.Bakti Setiawan, MA, P.hD


Abstract
Dominant element were city elements that can influence city development and have significant continuity to support this. This study to know city element in Magelang which play a role to be dominant element for Magelang existence and development in 1810 until 2000. There are 4 concepts to identify dominant element, (1) historic urban locus; (2) restrained element; (3) form element and (4) play a role for developing city. Historic urban locus made up historic area which have historic value that contains of historic element and new element. New elements can be dominant element because of its locus. Restrained concept can be read of historic element which never change for a time especially for form element and the function can be change but the existence still be there. Form element concept read for element that could bring out us to past city or historic city in form building. This concept contain of the historic building and new building. For new building usually for building that take a part or whole of past form. The last concept read for element which have function to support city development and have continuity value for this. This concepts can be read to identify dominant element and usually be reference for city developing in the future to avoid misconcepts city development. In addition to read the past city.

Keywords : Magelang city, dominan element and development


Latar Belakang
Suatu kota dibentuk oleh elemen-elemen yang akan mempengaruhi perkembangan kota itu sendiri. Elemen-elemen tersebut ada yang berfungsi sebagai elemen pokok (dominan) dan yang berkedudukan sebagai elemen pendukung.
Magelang sebagai kota pemerintahan dan militer menarik diteliti karena memiliki nilai sejarah yang tercermin dari pola struktur ruang yang terdiri elemen-elemen kota yang sampai saat ini masih dapat kita lihat nilai historisnya.
Elemen-elemen kota di Magelang diawali dengan adanya pola awal kota yang terdiri dari alun-alun, masjid dan kadipaten pada tahun 1810 yang dibangun oleh Bupati I Magelang Danoekromo atas perintah Inggris (Nessel, 1935). Pola awal yang digunakan Inggris saat itu adalah pola tradisional (kerajaan) dengan kadipaten sebagai replika istana raja.
Setelah Belanda datang dan menguasai Magelang pada tahun 1813, pola kota yang ada di Magelang merupakan penggabungan dua unsur yaitu pola kerajaan dan pola kolonial yang lebih dikenal dengan pola indis (Soekiman, 2000). Elemen-elemen kota di Magelang mulai berkembang sejak saat itu dan Magelang dipilih sebagai ibu kota karesidenan tahun 1818 dan sebagai kota militer tahun 1828.

Tujuan Penelitian
Mengetahui elemen-elemen kota yang ada di Magelang yang telah menunjukkan diri sebagai elemen dominan bagi pilar keberadaan dan perkembangan kota Magelang dalam kurun waktu 1810-2000

Cara Penelitian
Penelitian terbagi dalam dua bagian yang diawali telaah teori untuk mendapatkan teori awal kemudian dilanjutkan dengan penelitian yang bersifat eksploratif dengan melihat secara langsung kota Magelang sebagai obyek amatan.
Teori yang ditelaah terdiri dari tiga grand theory yaitu Aldo Rossi (1982), Amos Rapoport (1982) dan Alexander Papageargeou (1969) yang dalam langkah selanjutnya dibuat uraian tentang elemen dominan. Uraian tentang elemen dominan kemudian dibuat beberapa proposisi yang nantinya dijadikan alat melihat kota Magelang dalam mengidentifikasikan elemen dominan di Magelang.

Teori-Teori yang Berkaitan dengan Elemen Dominan Kota
1.Rossi (1982), kota sebagai sejarah yang terdiri atas dimensi waktu masa lalu, masa kini dan masa datang dipakai untuk melihat fenomena persistance
2.Rapoport(1982), kota terdiri dari elemen pokok dan elemen pendukung yang saling terkait dalam pembentukannya
3.Papageorgeou(1969), kota dilihat sebagai gambaran nyata yang dapat menunjukkan kemenerusan kota tersebut dalam beberapa kurun waktu

Kerangka Teori
Elemen dominan adalah elemen yang dapat mempengaruhi perkembangan kota dan mempunyai tingkat kemenerusan yang tinggi dalam mendukung perkembangan tersebut.
Beberapa proposisi mengenai elemen dominan adalah :
1.Elemen dominan adalah elemen yang memiliki urban locus yang tinggi dan merupakan awal dari terbentuknya kota yang terdiri elemen yang mempunyai historis maupun elemen baru.
2.Elemen dominan adalah elemen yang tidak berubah pada jangka waktu yang lama dan dapat dinikmati saat ini yang merupakan elemen yang mempunyai nilai historis yang menjelaskan kondisi kota pada masa lalu.
3.Elemen dominan adalah elemen yang bertahan pada fungsi maupun bentuk dalam waktu yang lama yang masih bisa dinikmati kebertahanannya
4.Elemen dominan adalah elemen yang mempunyai tingkat kemenerusan dalam setiap perkembangan kota yang dilihat dari bentuk dan fungsinya sebagai nilai historis yang mampu menceritakan peristiwa yang terjadi saat itu.
5.Elemen dominan adalah elemen yang mempunyai bentuk yang bisa menggambarkan kondisi masa lalu yang tergambar pada elemen tersebut.
6.Elemen dominan adalah elemen yang mampu menggantikan elemen dominan sebelumnya yang telah hilang dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang ada pada elemen sebelumnya.
7.Elemen dominan merupakan elemen yang mempunyai peranan dalam perkembangan kota baik dilihat pada perkembangan elemen dalam cakupan kota maupun peranan di sekitarnya.
8.Elemen dominan adalah elemen yang mampu untuk menghidupkan suatu kawasan yang sudah mati.

Atas dasar proposisi-proposisi di atas, dibangun 4 konsep sebagai alat baca dalam mengidentifikasi elemen-elemen dominan di Magelang yaitu berdasarkan (1) lokasi bersejarah, (2) nilai kebertahanan, (3) bentuk bangunan dan (4) fungsi atau peranannya.

Temuan Hasil Penelitian
Elemen dominan kota Magelang dilihat dalam kacamata 4 konsep yang sudah dirumuskan yaitu lokasi bersejarah, kebertahanan elemen, bentuk bangunan dan peranan yang semuanya ini mengandung arti tentang kemenerusan elemen yang dilihat dari aspek sejarah kota maupun peranan dalam perkembangan kota Magelang.

Jika ditabelkan perletakan elemen dominan kota antara tahun 1810-2000 berdasarkan empat konsep yang telah dirumuskan.

Lokasi Bersejarah
Lokasi bersejarah di Magelang merupakan lokasi yang menjadi awal terbentuknya kota yaitu alun-alun dan sekitarnya. Lokasi bersejarah sekarang ini sudah merupakan percampuran antara elemen bersejarah maupun elemen baru yang mulai berkembang terutama di sebelah Timur yang merupakan kawasan perdagangan yang sangat berkembang saat ini.
Fungsi elemen yang berada di dalam lokasi bersejarah untuk mengembalikan image sejarah kota Magelang yang telah mengalami beberapa tahap pemerintahan setelah dikuasai Mataram yaitu Inggris, Belanda dan Jepang. Elemen-elemen yang ada di dalam lokasi tersebut mampu menggambarkan perkembangan yang terjadi selama Magelang berkembang terutama di lokasi tersebut. Ini bisa dilihat dalam lokasi tersebut terdiri dari elemen yang dibangun atas perintah Inggris, elemen yang dibangun saat pemerintahan Belanda dan ada beberapa elemen yang dibangun setelah Belanda meninggalkan Magelang serta elemen yang dibangun setelah Magelang mulai terpengaruh dua kota yang mengapit yaitu Yogyakarta dan Semarang.

Kebertahanan
Kebertahanan yang ada pada elemen-elemen di Magelang sangat erat kaitannya dengan aspek sejarah kota Magelang yang sudah diawal sejak tahun 1810 oleh Inggris. Kebertahanan elemen dilihat dari kemenerusan bentuk yang ada pada elemen tersebut dan juga kemenerusan fungsi bangunanwalaupun ada beberapa elemen yang masuk dalam konsep kebertahanan namun fungsinya telah mengalami perubahan. Hal ini tidak mengurangi arti dominan dalam elemen tersebut.
Kebertahanan yang melihat aspek sejarah ini mempunyai fungsi sebagai kenangan masa lalu yang masih bisa dinikmati sampai saat ini dengan melihta bentuk yang asli pada saat elemen kota tersebut dibangun. Misalnya pada bangunan karesidenan yang masih ada sampai saat ini yang memunjukkan Magelang sejak awal sudah menjadi ibu kota karesidenan. Bangunan ini dibangun tahun 1819 setelah penunjukan Magelang sebagai ibu kota karesidenan yang baru. Saat ini fungsinya masih tetap sebagai kantor Karesidenan Kedu yang membawahi beberapa kota kabupaten dan kotamadya.

Bentuk Bangunan
Pada konsep ini elemen terdiri dari elemen lama yang mempunyai nilai sejarah dan elemen baru yang mampu menggambarkan sejarah kota dari bentuknya. Elemen –elemen ini berfungsi sebagai elemen dominan karena telah menunjukkan tingkat kemenerusan yang bisa dilihat dari bentuk bangunannya. Dengan melihat bentuk yang ada pada elemen tersebut mampu menggambarkan masa lalu yang pernah terjadi di kota Magelang yang terkait dengan aspek sejarah kota. Beberapa elemen bersejarah yang hilang karena suatu peristiwa atau karena adanya perkembangan jaman masih tetap bisa dihadirkan dengan membuat replika pada seluruh bangunan maupun pada sebagiannya saja.
Misalnya pada bangunan Water Torn yang ada di samping. Salah satu elemen kota yang masih ada saat ini dibangun pada masa pemerintahan Belanda di bangun oleh salah satu arsitek yang terkenal yaitu Karsten. Bangunan ini mempunyai bentuk yang sangat unik dan mampu menggambarkan masa lalu kota yang pernah dikuasai Belanda saat itu.



Peranan
Magelang sebagai salah satu kota kecil sekarang ini mulai berkembang karena adanya pengaruh dari kota-kota yang ada di sekitarnya. Hal ini mempengaruhi perkembangan elemen-elemen di Magelang sebagai elemen dominan dalam perkembangan kota. Elemen-elemen ini menjadi pemicu bagi tumbuhnya elemen –elemen lain sebagai pendukungnya. Ini terjadi karena elemen awal (yang menjadi dominan) dalam perkembangan waktu membutuhkan elemen pendukung agar perannya lebih dominan.
Elemen-elemen yang mempunyai peranan dominan dalam perkembangan kota Magelang terdiri dari elemen lama yang berperan dalam perkembangan kota serta elemen-elemen baru yang mempengaruhi perkembangan kota Magelang. Selain itu elemen-elemen yang masuk konsep ini adalah elemen yang mempunyai nilai historis namun karena sudah tidak difungsikan sebagaimana fungsi awalnya yang kemudian setelah berubah fungsi (dan juga disertai bentuk bangunan) elemen tersebut ikut memacu perkembangan kota Magelang.

Kesimpulan
Elemen-elemen awal pembentuk kota Magelang berperan dominan dalam perkembangan kota Magelang karena telah menunjukkan kemenerusannya. Kemenerusan ini dikaitkan dalam nilai kebertahanan dan nilai peranannya.
Magelang dengan beberapa elemen dominan yang memiliki nilai sejarah tidak banyak mengalami perubahan, justru beberapa elemen yang saat pembentukan kota belum dianggap dominan saat ini menjadi dominan. Banyak elemen sampai saat ini bertahan keberadaannya sejak pertumbuhan awal kota (sejak tahun 1810) yang dikembangkan oleh Inggris dan kolonial Belanda.
Magelang dalam perkembangannya dibentuk oleh kawasan bersejarah yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi yang terdiri atas elemen-elemen lama yang mempunyai nilai historis maupun elemen baru yang tidak mempunyai nilai historis. Elemen dalam kawasan bersejarah di Magelang adalah alun-alun dan elemen sekitarnya. Elemen baru yang terletak di kawasan bersejarah di Magelang bisa menjadi elemen dominan karena elemen tersebut mampu menjadi referensi elemen kota lainnya sebagai elemen pendukung.
Kawasan bersejarah sebagai kawasan yang mempunyai nilai historis yang tinggi dalam perkembangan kota Magelang dijadikan acuan untuk melihat konsep kebertahanan yang dilihat dari segi fungsi dan bentuknya yang tetap maupun hanya dilihat dari bentuknya saja yang mampu dipertahankan. Selain itu elemen-elemen kota Magelang berkembang dengan mengacu pada kawasan tersebut yang dijadikan pola awal atau elemen awalnya. Peranan ini tidak terlepas dari elemen-elemen kota yang berada di dalam kawasan tersebut yang mampu bertahan dalam perkembangan kota, yang berarti elemen dominan selalu mengacu pada sejarah kota yang terdiri dari elemen-elemen yang mempunyai nilai historis yang dalam perjalanannya mampu bertahan dan mampu dipertahankan pada kemenerusan bangunan baru yang dapat mengacu pada perkembangan elemen kota.

Daftar Pustaka
Aminuddin, Sandi, 1990, Bandung – The Architecture of A City in Development, Katholieke Universiteit Leuven
Darban, Ahmad Adaby, 2000, Sejarah Kauman, Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Tarawang, Yogyakarta,
Departemen P&K, 1999, Inventarisasi Bangunan Kolonial di Magelang, Magelang
Dinas Pariwisata Kota Magelang, 2000, Magelang Tempo Dulu, Magelang
Djuliati, 2000, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta
Handinoto, 1996, Perkembangan Kota Dan Arsitektur Kolonial di Surabaya 1870-1940, Andi Offset, Yogyakarta
Handinoto,. Soehargo, H Paulus, 1996, Perkembangan kota dan Arsitektur Kolonial belanda di Malang, Andi Offset, Yogyakarta
Nessel Van Lissa, 1930, Uit Het Verleden Van Magelang, Magelang
Papageorgeou, Alexander, 1969, Continuity and Change, Praeger Publishers, New York, Washington, London.
Pemerintah Daerah Kota Magelang, 1998, Hari Jadi Kota Magelang
Rapoport, Amos, 1982, The Meaning of The Built Environment, Sage Publications, Beverly Hills/London/New Delhi
Rossi, Aldo, 1982, The Architecture of The City, MIT Press, Cambridge, Massachusetts and London, England.
BPS Jawa Tengah, 1990, Selayang Pandang Jawa Tengah 1990, Semarang
Soekiman, Djoko, 2000, Kebudayaan Indis, Yayasan Bentang Budaya, Cetakan Pertama, Yogyakarta
Utami, W., Suryasari, N.,2000, Sejarah Perkembangan Kota Magelang, Mata Kuliah Sejarah dan Arsitektur Urban, Program Studi Teknik Arsitektur Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



Wahyu Utami, ST.MT
wahyuutami_dn@yahoo.com

Menyelesaikan gelar S1 di Universitas Gadjah Mada pada tahun 1999 dan program Master di tempat yang sama pada tahun 2001.

Kamis, 19 Juni 2008

PENYIMPANGAN PERLETAKAN ELEMEN IBU KOTA KABUPATEN DI JAWA

Wahyu Utami
Staf Pengajar Arsitektur USU

Penelitian ini merupakan salah satu hasil temuan dalam hasil akhir thesis yang dilakukan penulis tahun 2000 atas bimbingan Ir. Sudaryono, M.Eng, P.hD dan Ir.Bakti Setiawan, MA, P.hD sebagai staf pengajar Program Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Teknik Program Studi Arsitektur UGM, Yogyakarta

Abstrak
Penelitian ini memaparkan salah satu penyimpangan pola umum perletakan elemen-elemen di ibu kota kabupaten di Jawa. Tipologi kota-kota di Jawa khususnya ibu kota kabupaten dan ibu kota karesidenan mempunyai dengan adanya keseimbangan antara penguasa local (pribumi) dengan penguasa kolonial. Ini diwujudkan dengan perletakan elemen awal yaitu alun-alun sebagai simbol pusat kekeuasaan yang diseimbangkankan kadipaten (kantor bupati) di sebelah Selatan dan karesidenan (kantor residen) atau rumah asisten residen di sebelah Utara. Perletakan elemen-elemen berikutnya adanya masjid di sebelah Barat, adanya penjara, militer dan fasilitas penunjang saat itu.

Keywords : penyimpangan, tipologi, elemen


KESIMPULAN



Pola kota yang ada di Magelang mempunyai pola yang berbeda dengan kota-kota di Jawa khususnya ibu kota kadipaten dan ibu kota Karesidenan. Jika di kota-kota Jawa terdapat pola penyeimbangan penguasa lokal (berhubungan dengan kerajaan) dan kolonial dengan perletakan istana raja (kadipaten) di sebelah selatan yang berhadapan dengan kantor karesidenan atau asisten residen yang berada di sebalah utara dengan di tengahnya adalah alun-alun, namun di Magelang justru tidak menonjolkan keseimbangan penguasa lokal dan kolonial tersebut karena pertimbangan fungsi dan alam yang ada, karena perletakannya yang tidak menggunakan sumbu utara-selatan. Kadipaten sebagai replika istana raja berada di sebelah utara alun-alun sementara karesidenan berada di sebelah barat alun-alun. Sementara pada posisi selatan alun-alun digunakan sebagai sekolah Belanda dan pribumi dikenal dengan MOSVIA. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan yang terjadi jika dikomparasikan dengan pola umum kota kolonial dan kota indis di Jawa dan kota Magelang mempunyai kesamaan dengan kota Sumedang (Yoyok, 2001) yang posisi kadipaten tidak berada di sebelah Selatan alun-alun dan tidak terjadi penyeimbangan posisi kekuasaan lokal dan kolonial.
Penyeimbangan kekuasaan kolonial terletak pada perletakan elemen kolonial yang lebih dominan dibanding elemen tradisional terutama di pusat kota yaitu adanya gereja, MOSVIA, Kamar Bola, Gudang Candu dan Water Torn (menara air) yang merupakan fasilitas-fasilitas pendukung yang digunakan oleh masyarakat kolonial saja. Selain itu juga adanya perumahan bagi pejabat penting kolonial yang berada di sekitar alun-alun sebagai pusat kota.
Hal ini kemungkinan terkait dengan peran sebagai kota pemerintahan yang kurang dominan dan justru lebih ke kondisi alamnya. Juga karena peranan Magelang saat itu sebagai kota gudang beras dan stabilisator daerah hinterland di sekitarnya dan yang paling penting yaitu peranan magelang pada saat itu adalah menghubungkan daerah Yoyakarta dan Semarang sebagai gudang senjata serta Surakarta sebagai gudang bala tentara.
Selain penyeimbangan dengan cara perletakan elemen kolonial secara dominan juga dengan adanya perletakan elemen kolonial di dalam elemen tradisional yang dianggap penting dan besar peranannya dalam mendukung posisi kolonial saat itu sehingga terjadi percampuran elemen tradisional dan kolonial. Ini terlihat adanya perletakan elemen kolonial di dalam elemen tradisional yaitu kadipaten sebagai replika istana raja dan perletakan elemen kolonial di dalam alun-alun sebagai simbol pusat kekuasaan.



DAFTAR PUSTAKA

Departemen P&K, 1999, Inventarisasi Bangunan Kolonial di Magelang, Magelang
Dinas Pariwisata Kota Magelang, 2000, Magelang Tempo Dulu, Magelang
Djuliati, 2000, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta
Handinoto, 1996, Perkembangan Kota Dan Arsitektur Kolonial di Surabaya 1870-1940, Andi Offset, Yogyakarta
Handinoto,. Soehargo, H Paulus, 1996, Perkembangan kota dan Arsitektur Kolonial belanda di Malang, Andi Offset, Yogyakarta
Nessel Van Lissa, 1930, Uit Het Verleden Van Magelang, Magelang
Pemerintah Daerah Kota Magelang, 1998, Hari Jadi Kota Magelang
BPS Jawa Tengah, 1990, Selayang Pandang Jawa Tengah 1990, Semarang
Soekiman, Djoko, 2000, Kebudayaan Indis, Yayasan Bentang Budaya, Cetakan Pertama, Yogyakarta
Utami, W., Suryasari, N.,2000, Sejarah Perkembangan Kota Magelang, Mata Kuliah Sejarah dan Arsitektur Urban, Program Studi Teknik Arsitektur Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Utami, Wahyu, 2001, Elemen-Elemen Dominan dalam Perkembangan Kota Magelang, Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Tulisan ini pernah diterbitkan di Jurnal Simetrika Fakultas Teknik USU, Medan

Awal Negeri Magelang


Diceritakan Magelang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Hindhu (Mataram Kuno). Dalam Prasasti Mantyasih bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan “Mantyasih” yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan. Setelah melalui masa jayanya sekitar dua abad, wilayah Mantyasih menghilang akibat dari letusan gunung berapi yang dibarengi juga dengan hilangnya Kedu dan Mataram Hindhu dari panggung sejarah. Djuliati (2000) Kedu baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat). Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang beras bagi kerajaan Mataram. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran konsentris yang berpusat di kraton dan Magelang masuk dalam daerah Kedu yang merupakan nagaragung dari Mataram. Magelang pada waktu itu merupakan daerah sebagai kebun milik raja atau kebon dalem, yaitu kebun milik Sri Sunan Pakubuwono. Ini dibuktikan dengan adanya artefak yang sampai saat ini masih ada nama kawasan dengan kekhasan nama hasil kebun sepanjang kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman yang merupakan deretan kebun, antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon) dan kebun bayem (Bayeman). Bersumber dari beberapa data yang ada di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kota lama menurut versi “kerajaan” pada awalnya ada di daerah Mantyasih yang kemudian berkembang ke arah Timur dengan batas wilayahnya di sekitar Bayeman sampai Potrobangsan dengan pusat di kelurahan Magelang yang saat itu disebut dengan kebondalem.
Menurut Nessel (1935), setelah ada perang Jawa yang menghasilkan perjanjian Gianti, Tahun 1755 wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ditambahkan oleh Djuliati (2000), ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan memaksanya untuk menerima syarat-syarat yang diajukan yang antara lain menyerahkan sebagian dari wilayah nagaragungnya termasuk Kedu sebagai gudang beras.

Masjid kota Magelang yang berada di sebelah Barat Alun-Alun dibangun tahun 1810 pada masa pemerintahan bupati Magelang pertama bernama Mas Ngebehi Danoekromo. pada saat bersamaan selainMasjid, bupati Danoekromo juga membangun alun-alun dan kadipaten (terbakar pada agresi pertama dan dibuat replikanya, sekarang gedung BPK).


Seperti kota-kota di jawa yang dipengaruhi oleh kota kerajaan dan kedatangan kolonial, masjid di Magelang dilengkapi dengan kompleks pemakaman (kauman) yang berada di sebelah barat masjid.

Jumat, 06 Juni 2008



Latar Belakang Geografi Kota Magelang


Magelang terletak di dataran tinggi dengan ketinggian ± 375 dpl, dengan keunikan dikelilingi gunung dan di tengahnya terletak bukit Tidar. Dari segi geografis lokasi ini terletak kurang lebih di tengah – tengah pulau Jawa. Bahkan ada legenda yang sampai saat ini masih dikenang masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Magelang bahwa bukit Tidar yang ada di Magelang merupakan pakuning pulau Jawa. Pakuning (pakunya) pulau Jawa di sini diartikan jika bukit Tidar ini runtuh maka pulau Jawa akan goyah atau bisa juga dikatakan bahwa bukit Tidar ini sebagai penyeimbang pulau Jawa.
Van Bemmelen dalam Moehkardi (1988) menyebutkan bahwa daerah Magelang – Selatan di jaman purba pernah terbentuk telaga yang cukup luas. Telaga ini terbentuk sebagai akibat ledakan gunung berapi yang laharnya mengalir ke barat dan menyumbat aliran sungai Progo di Timur Laut kaki pegunungan Menoreh. Setelah berabad – abad, sumbatan yang membendung sungai progo itu hilang termakan erosi sungai progo sehingga akhirnya menjadi kering
So, saya mohon dengan kerendahan hati saya agar kawan-kawan khususnya pemerhati kota Magelang dan para peneliti secara umum bisa memberi masukan positif.
Blog ini saya ciptakan seiring dengan bertambahnya kecintaan terhadap tanah kelahiran yang semakin lama kok semakin menantang untuk lebih ditelusuri.

Nama Saya Wahyu Utami
Sejak tahun 1999 (tepatnya saat saya mulai masuk S-2 Teknik Arsitektur UGM) saya bertekad ingin ngulak-ulik kota Magelang yang menjadi kota kelahiran dan kota dimana Saya dibesarkan. dan saat ini saya juga berencana melakukan penelitian lanjutan tentang Kota Magelang. Tidak sejarah kota secara murni namun melihat faktanya Magelang merupakan kota yang sudah ada sejak jaman Mataram Hindhu dan melewati proses kota kolonial dan tentunya kota pasca kemerdekaan, makanya tentu dalam penelitian Magelang juga akan membicarakan sejarahnya.

Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya ingin berbagi tentang kota Magelang dan tentunya saya juga ingin juga kita bisa saling berbagi tentang kota Magelang atau yang terkait.