Minggu, 21 September 2008

Pola Umum Kota Indis Magelang


Seperti dikatakan Nas (1980) tentang penggolongan kota dalam empat kelompok yaitu kota awal Indonesia, kota indis, kota kolonial dan kota modern maka Magelang dimasukan dalam kelompok kota indis. Sebagaimana dikatakan Soekiman (2000) pola kota indis merupakan perpaduan kota tradisional dan kota kolonial. Istilah kata tradisional diartikan budaya lokal dan potensi alam lokal.
Magelang merupakan kota indis yang memanfaatkan bentukan alam dan keindahan alam sebagai pertimbangan perkembangan kota, didukung oleh pola awal kota yang mengunakan pola tradisional yang kemudian setelah Belanda datang menggunakan pola kolonial yang dipengaruhi oleh pola tradisional. Adanya kadipaten sebagai replika dari rumah penguasa tertinggi pribumi (raja) yang menghadap ke alun-alun dengan pohon beringan di tengahnya, Masjid, Kantor Karesidenan, Gedung Pengadilan, rumah penjara, gedung garam, kantor pos-telegraf-telepon (PTT), Klenteng, Pecinana, Pasar dan stasiun kereta api di dua lokasi (utara dan selatan kota). Perkembangan kota cenderung ke Utara-Selatan seiring dengan bentukan fisik kota Magelang yang dibatasi oleh dua sungai di sebelah Timur dan Barat. Selain itu bentuk-bentuk bangunan yang ada juga menggunakan bentuk bangunan indis yang merupakan perpaduan bangunan kolonial dan gaya lokal. Naik turunnya kontur dimanfaatkan untuk penempatan bangunan dengan mempertimbangkan fungsinya.
Utami, 2000, alasan utama pemilihan kota Magelang dikuasai kolonial yaitu karena alamnya yang indah dan sebagai gudang dan pemasok bahan makanan. Posisi Magelang yang dapat memantau wilayah sekitar terutama tiga kota penting yaitu Yogyakarta, Solo dan Semarang juga menjadi alasan bagi penguasaan Magelang. Alasan lainnya karena posisi wilayah gerilya para pejuang pribumi saat itu yang lebih banyak menggunakan pegunungan dan perbukitan. Alasan kedua ini terkait erat dengan posisi Magelang yang dikelilingi oleh perbukitan dan gunung (Menoreh, Sumbing, Merapi, Perahu dan Sindoro). Saat itu kolonial merasa kesulitan untuk mengawasi gerilya pribumi karena itu diperlukan penguasaan wilayah yang dapat memantaunya yang salah satunya adalah Magelang. Posisi Magelang yang dikelilingi perbukitan dan gunung tersebut selain menguntungkan dari posisi juga menguntungkan dari segi alam.
Pola kota yang ada di Magelang mempunyai pola yang berbeda dengan pola umum kota di Jawa. Jika di kota-kota Jawa terdapat pola penyeimbangan penguasa lokal dan kolonial namun di Magelang yang terjadi justru tidak menonjolkan keseimbangan penguasa lokal dan kolonial tersebut dengan perletakan penguasa berhadapan di sekitar alun-alun. Hal ini merupakan salah satu penyimpangan dengan pola umum kota kolonial dan kota indis di Jawa. Penyeimbangan kekuasaan kolonial terletak pada perletakan elemen kolonial yang lebih dominan dibanding elemen tradisional terutama di pusat kota. Hal ini terkait dengan peran sebagai kota pemerintahan yang kurang dominan dan justru lebih ke kondisi alamnya. Misalnya perletakan Kantor Karesidenan Kedu yang berada di sebelah barat alun-alun serta tidak menghadap Timur sebagai jalan utama namun justru menghadap ke Barat ke arah deretan gunung. Kemungkinan besar keterkaitan antara pemandangan alam (gunung) dengan posisi karesidenan juga tentang strategi tentara gerilya lokal (Pangeran Diponegoro) yang menggunakan jalur pegunungan. Beberapa perkantoran mempunyai view ke arah barat yang memang keindahan kota Magelang bisa terlihat. Rumah petinggi Belanda mempunyai view alam yang indah dengan mengolah tapak dan mempergunakan tapak.
Ruang-ruang terbuka, antara lain alun-alun, Taman Badaan, areal Bukit Tidar dan masih banyak lagi memberikan ruang gerak bagi aktivitas masyarakat untuk menggunakannya baik sebagai pusat aktivitas maupun ruang gerak udara dan air. Sampai saat ini Magelang tidak mempunyai masalah dengan ruang terbuka. Penambahan lahan terbangun terfokus di pusat kota (justru masalah di konservasi bangunan) dan di bagian Utara-Selatan sebagai daerah pengembangan kota.



Tidak ada komentar: