Minggu, 26 Juli 2009

Studi Eksplorasi Ruang Kota Magelang Periode Kerajaan Mataram Kuno dan Mataram Baru




wahyuutami_dn@yahoo.com

(diterbitkan dalam Proseding Kegiatan Diskusi Nasional Arsitek Sastra Matra, Semarang, Juni 2009)




Abstrak

Magelang sudah ada sejak abad pertama dengan datangnya sejumlah orang asing yang kemudian membuat permukiman. Seiring dengan waktu wilayah Magelang berkembang walaupun masih sangat minim fasilitasnya. Adanya beberapa kerajaan yang menjadikan wilayah Magelang membuat Magelang semakin ramai apalagi lokasinya berdekatan dengan Gunung Merapi sebagai tempat suci dan diapit oleh sungai. Gunung dan sungai sangat mempengaruhi keberadaan daerah-daerah yang digunakan sebagai tempat bermukim dan sebagai penentuan bangunan suci. Kerajaan yang pernah menjadikan Magelang sebagai wilayahnya antara lain Kerajaan Mataram Kuno dan Kerajaan Mataram Baru.

Kata Kunci : Kerajaan, Kota , Magelang

A. Latar Belakang Geografi dan Legenda Kota Magelang

Magelang terletak di dataran tinggi dengan ketinggian 375 dpl, dengan keunikan dikelilingi gunung dan di tengahnya terletak bukit Tidar. Menurut Djuliati, 2000, Magelang masuk dalam Karesidenan Kedu. Dari segi geografis lokasi ini terletak kurang lebih di tengah –tengah pulau Jawa. Karesidenan Kedu adalah karesidenan satu-satunya yang tidak berbatasan dengan laut. Bahkan ada legenda yang sampai saat ini masih dikenang masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Magelang bahwa bukit Tidar yang ada di Magelang merupakan pakuning pulau Jawa. Pakuning(pakunya) pulau Jawa di sini diartikan jika bukit Tidar ini runtuh maka pulau Jawa akan goyah atau bisa juga dikatakan bahwa bukit Tidar ini sebagai penyeimbang pulau Jawa.

Menurut beberapa sumber cerita rakyat diceritakan tentang datangnya serombongan orang Rum yang dipimpin Raja Pendeta Ngusmanaji mencoba masuk ke wilayah Jawa khususnya Kedu tahun 78 M, akan tetapi gagal karena terserang penyakit. Rombongan kedua yang disengaja tanpa orang Rum yaitu dengan mendatangkan orang-orang Keling, Seiloh dan Siam, mencoba membuka lahan kembali yang dimulai ekspedisinya tahun 83 M dan pada tahun ke lima berhasil menguasai keadaan pada tahun 88 M dengan menancapkan tongkat tumbal di 5 lokasi di Jawa, salah satunya di Bukit Tidar oleh Sheikh Bakir.

1.1.1 Periode Mataram Kuno

Bermula dengan Raja Sima yang sangat terkenal dari Kalingga melarikan diri karena gempuran dari kerajaan yang ada di Jawa Barat dan akhirnya mendapat tempat di Lereng Gunung Merapi (Prasasti Canggal), maka dimulailah babak baru berkembangnya kawasan Magelang sekarang ini. Raja Sanjaya yang membuat prasasti Canggal tahun 732 M, di Gunung Wukir, Lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang menjadi Raja Mataram Kuno yang pertama.

Magelang dengan latar belakang Bukit Tidar dirasa sudah ada jauh sebelum berdirinya kerajaan baru yaitu Kerajaan Medang, apalagi ditunjang dengan adanya Prasasti Tuk Mas (Kabupaten Magelang) dengan tertanggal tahun 500 M yang bercerita tentang adanya sumber air yang bersih yangdisamakan dengan Sungai Gangga. Pada masa Kerajaan Mataram Hindhu, Magelang diperkirakan mulai dikenal lebih luas pada masa pemerintahan Rake Watukara Dyah Balitung (898-908 M) dengan memerdekakan beberapa daerah yang ada di Magelang mulai tahun 905 M yang tertuang dalam prasati Poh (905M). Pada masa pemerintahan Raja Balitung istana Mataram Hindhu berada di daerah Medang I Poh Pitu (Kedu). Daerah yang dijadikan daerah perdikan adalah daerah Mantyasih dan Poh sebagai daerah untuk melakukan persembahan dengan dibangun Sima.




Disebutkan dalam Prasasti Mantyasih bahwa Kota Magelang mengawali sejarah sebagai desa perdikan “Mantyasih” yang berarti beriman dalam cinta kasih dan di tempat itu terdapat lumpang batu yang diyakini masyarakat sebagai tempat upacara penetapan Sima atau perdikan. Selain Prasasti Mantyasih juga sebelumnya telah ada Prasasti Poh yang terletak di Kampung Dumpoh (sekarang). Riboet Darmosoetopo, 1998, menceritakan bahwa terdapat jalan panjang yang melintasi desa, sawah sungai gunung atau hutan yang pada saat tertentu dilewati para pejabat desa atau pejabat lungguh yang akan menyerahkan pajak dan upeti kepada raja jalan ini juga dilewati pada pedagang yang pergi kepasar tidak jarang mendapat gangguan baik ari becu maupun begal. Apalagi desa kuning (yang terletak di sebelah Barat Laut Kota Magelang) dilewati jalan raya menuju ke parakan. Oleh karena itu turunlah anugrah kepada lima patih dari matyasih berupa tanah sima : kelima orang patih ini diberi tugas untuk mengamankan desa dan menjagai jalan di desa kuning dari kerusuhan. Selain tentang daerah perdikan dalam Riboet, 1998, menceritakan tentang isi Prasasti Mantyasih yang terkait dengan Raja-raja Mataram Kuno. Selain bercerita nama-nama raja mataram, isi Prasasti Mantyasih (sumber : Riboet Darmosoetopo, 1998) antara lain :

No

Tulisan dalam prasasti

Arti dalam bahasa Indonesia

A : 4

.... paknanya pagantyagantyana ikanang patih mantyasih sanak lawasnya tlung tahun sowang...

perintah raja supaya (kelima) patih mantaysih bergantian (menguasai tanah sima) setiap orang tiga tahun lamanya....

A : 5-7

.... sambandha yan inanugrahan sangka yan makwaih buatthaji iniwonya i cri maharaja kala warangan haji lain sangke kapujan bhatara...ing pratiwarsa. mung sangka yang antaralika katakutan ikanang wanua i kuning. sinara bharanta ikanang patih rumaksa i kanang hawan....

alasan (kelima orang patih) dianugrahi sebab banyak pengabdian yang diberikan kepada cri maharaja saat kawin. selain karena mereka mengadakan pemujaan pada bharata....setiap tahun dan mereka telah dapat mengamankan desa kuning. tugas menjaga jalan dibebankan kepada mereka.

A : 6- 7

... muan sahka yan antaralika katakutan ikanan ih kunin. sinarabharanta ikanan patih rumaksa ikanan hawan....

... dan karena desa kuning selalu ketakutan (karena kerusuhan) kilma patih (dari mantyasih) diberi tugas menjaga jalan (di desa kuning)

A : 7-9

.... kunang parnnahanya tan katamana de sang pangkur. tawan. tirip. muang saprakraning mangilala drawya haji kring. padamapuy.tapahaji.aor haji.ratji.makalangkang.mangrumbai.mapadahi.manghuri.limus galuh.sambal.paranakan.kdi.widu,mangidung,hulun haji ityaiwamadi tan haha deya tumama iriya...

adapun ketentuannya tidak dimasuki oleh pangkur, tawan, tirip,dan semuanya yang tergolong mangilala drawya haji(terdiri)kring,padamapuy (pemadam kebakaan),tapahaji,air haji,rataji,makalangkang (penjemur hasil panen),mangrumbai,mapadahi (pemukul kendang), manghuri,limus galuh,sambal,paranakan,kdi(wanita "wadat"), wid u (penari), mangindung (penyangi), hulun haji (budak raja) dan sebgainya tidak diperkenankan memasuki tanah sima.




B : 20-21

....nahan cihnan yan mapageh ikanang wanua i mantyasih muang i kuning kagunturan inanugrahakna ri kanang patih mantyasih sia kepatihan ...

demikian telah teguh desa di mantaysih, di kuning dan di kagunturan telah dianugrahkan kepada patih mantyasih(menjadi) sima kepatihan

A : 4 ;

B : 20-21

.... paknanya pagantyagantyana ikanang patih mantyasih sanak lawasnya tlung tahun sowang .... yan ana ngwang umulahulah ikaing sima pinaduluranwadwa rakyan sinusu kudur...

perintah raja supaya (kelima) patih mantaysih bergantian (menguasai tanah sima) setiap orang tiga tahun lamanya.... jika ada orang mengganggu sima pinaduluran ini....

B : 2

.....saprakarani saji sang makudur ing mandala inmas pinda pasamasnya su 2 ma ku 4 ...

artinya segala jenis sajian untuk san makudur di tempat upacara diganti dengan uang emas, besarnya 2 su 4 ku uang emas.

B : 3-4

.... i sampuning manadah mangdiri sang makudur lumkas manapata mamantingaken hantrini....

setelah selesai makan berdirilah sang makundur segera mengucapkan mantera dan membanting telur.

Sebelum Prasasti Mantyasih dibuat, di Magelang juga dibuat Prasasti Poh yang saat ini daerahnya dikenal dengan nama kampung Dumpoh yang letaknya juga berdekatan dengan Sungai Progo. Prasasti Poh menyebutkan tentang adanya daerah perdikan di daerah Poh dan juga daerah- daerah yang lain Selain itu juga disebutkan bahwa daerah Poh merupakan daerah untuk persembahan. prasasti poh menyebutkan bahwa wanua poh mempunyai anak wanua rumasan dan Nyu, semuanya termasuk lungguh anak pamgat kiniwang (..... wanua poh muang anak wanua i rumasan, ring nyu kapua watak kiniwang..... poh 827 C) artinya desa poh, dusun rumasan dan dusun nyu semuanya termasuk lungguh kinawang. Wanua berarti desa pada saat itu. Timbul Haryono,1994 menceritakan tentang Prasasti Randusari 905 M yang menceritakan para tetua di desa Poh, di Rumasan, di Nyu mempersembahakan pasak-pasak kepada Sri Maharaja berupa kain jenis jaro 1 yugala dan mas pageh 5 suwarna. Prasasti Poh (905 M) disebutkan sekelompok seniman yang ikut hadir pada upacara penetapan sima di Poh mendapat pasek-pasek. Mereka adalah pemain musik (penabuh) dan penari.

Istana Mataram Hindhu selama berkuasa di Jawa Tengah mempunyai 4 istana yang digunakan dengan periode yang berbeda. Awalnya istana terletak di Medang I Mataram yang terletak di Yogyakarta, kemudian berpindah ke Medang I Pikatan (diperkirakan di daerah kedu), kemudian di Medang I Poh Pitu (diperkirakan di daerah kedu) dan pada akhirnya berpindah ke Medang I Mataram (di Yogyakarta). Untuk saat ini analisa perpindahan istana karena seringnya ada penyerbuan dan pemberontakan, selain itu juga terkait dengan keamanan dan kebijakan raja yang berkuasa. Konflik ruang seringkali terjadi seiring dengan adanya perebutan kekuasaan dan perluasan wilayah kekuasaan. Konflik ruang yang sering terjadi mengakibatkan munculnya ruang-ruang baru.

Magelang bisa jadi bukan sebagai istana kerajaan Kerajaan Mataram Hindhu, namun karena lokasinya yang sangat strategis karena terletak di pinggir sungai sebagai jalur transportasi juga karena termasuk jalur ke Gunung Merapi dimana pada masa Mataram Hindhu, sungai dan gunung merupakan daerah yang dijadikan tempat persembahan.


Riboet, 1998, menuliskan tentang pembagian wilayah kerajaan pada masa jawa kuno dapat berdasarkan aturan adat atau kebijaksanaan seorang raja. Pembagian wilayah pada masa mataram kuno adalah sebagai berikut :
  • · kedaton sebagai pusat kerajaan dilingkungi tembok sebagai pemisah. Kedaton sebagai lambang kosmos (alam magis) dikelilingi oleh delapan dewa penjaga mata angina atau astadikpala (Heine Geldern, 1943)
  • · diluar kedaton ada wilatah keraton yang juga dikelilingi tembok atau beteng sehingga ada istilah jeron beteng atau watak I jro (kelompok orang dalam) . Di dalam keraton inilah para kerabat raja, permaisuri dan selir bertempat tinggal.
  • · Kecuali itu kelompok yang disebut watak I jro bertempat tinggal di dalam benteng. Mereka yang masuk dalam watak I jro adalah kelompok juru padahi (pemukul kendang), widu (pembawa cerita, dalang), mangidung (pesinden), arawan asta (penari), mamanah, magalah, magandi (pengawal raja membawa senjata panah, tombak, dan bindi), pandai mas, pandai simsim (kemasan dan tukang membuat cincin), pawdihan (tukang batik), pamahat (pemahat), dan panatah (tukang mengukir wayang). Termasuk didalamnya adalah golongan yang disebut abdi dalem palawija yang terdiri dari pujut (orang yang cacat tubuhnya), jenggi bondan (orang kulit hitam), pandak (orang cebol), dan wungkuk (orang bongkok) (Boechari 1977a : 13).

Riobet, 1998, menjelaskan demi keamaman para prajurit dan pejabat dibawah rakryan kagnap yang bergelar rakai dan pamgat (pemegang lungguh) bertempat tinggal di sekililing tembok keraton, meskipun tanah lungguhnya terletak di jauh dari keraton. Tanah lungguh itu sendiri adalah (apanage) daerah yang diserahkan kepada seseorang : penerima tanah lungguh berhak atas keuntungan dari tanh itu dan juga dari penduduk. Tanah bengkok (catu =rangsum, gaji) adalag tanah yang diserahkan kepada seseorag, hasil tanah itu sebagai gajinya. Keraton beserta daerah sekitarnya termasuk tanah lungguh dan tanah bengkok, merupakan nagaragung atau daerah inti. Desa (wanua atau thani) beserta dusunnya (anak wanua atau anak thani) beserta tanah lungguh pada zaman jawa kuno terletak di begaragung. Di luar nagaragung terdapat daerah yang dikuasai oleh para haji, atau raja vazal.

1.1.2 Periode Mataram Baru

Ada cerita legenda yang cukup menarik untuk membahas munculnya kembali Magelang dalam panggung sejarah, yang diawali dengan adanya usaha Panembahan Senapati untuk menguasai daerah Magelang yang diceritakan dalam Babad Alas Kedu. Setelah mengalami kemunduran masa kejayaan, Magelang khususnya Bukit Tidar telah dikuasai oleh Raja Jin Sepanjang. Panembahan Senapati kemudian menyuruh beberapa tokoh masyarakat untuk membantu mengusir Raja Jin Sepanjang. Muncullah kemudian Kyai Keramat yang membantu namun akhirnya tewas di daerah sebelah utara (keramat atau di Desa Kramat, sekarang), kemudian Raja Jin Sepanjang lari ke arah Selatan dan dikejar oleh Nyai Bogem (tewas akhirnya muncul daerah Bogeman), Patih Mertoyudo (tewas akhirnya muncul daerah Mertoyodan) dan Raden Krincing (tewas akhirnya muncul daerah Krincing). Selain itu juga muncul nama-nama daerah sebagai daerah-daerah pertempuran antara lain Bodongan, Plikon dan Geger.

Setelah melalui masa jayanya sekitar dua abad, wilayah Magelang dan sekitarnya menurut teori Van Bammelen, menghilang akibat dari letusan Gunung Merapi tahun 1006 yang dibarengi juga dengan hilangnya Kedu dan Mataram Hindhu dari panggung sejarah. Letusan Gunung Merapi mengakibatkan gempa yang sangat besar dan disertai hujan material vulkanik yang kesemuanya itu membentuk Gunung Gendol dan Pegunungan Menoreh.

Djuliati, 2000, Kedu atau dalam hal ini Magelang baru muncul lagi setelah terbentuknya pusat kekuasaan baru yaitu Mataram di Yogyakarta sebagai wilayah nagaragung (daerah inti kerajaan yang langsung diperintah dari pusat). Kedu berkembang sebagai daerah hinterland Mataram dan menjadi gudang beras bagi kerajaan Mataram. Hal ini selain didukung oleh tanahnya yang subur sebagai gudang beras, juga sanat cocok untuk tanaman perkebunan dan juga sebagai daerah yang mempunyai potensi alam yang indah. Menurut Nessel, 1935, setelah ada perang Jawa yang menghasilkan perjanjian Gianti, Tahun 1755 wilayah Kedu menjadi bagian dari Yogyakarta. Ditambahkan oleh Djuliati, 2000, ketika Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta gagal melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Inggris, Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan memaksanya untuk menerima syarat-syarat yang diajukan yang antara lain menyerahkan sebagian dari wilayah nagaragungnya termasuk Kedu sebagai gudang beras. Kedu saat itu masuk dalam dua wilayah penguasa yaitu wilayah Surakarta dan wilayah Yogyakarta. Wilayah kekuasaan Mataram merupakan lingkaran konsentris yang berpusat di kraton dan Magelang masuk dalam daerah Kedu yang merupakan nagaragung dari Mataram. Pada saat itu kerajaan secara umum terbagi dengan batas sungai yaitu di sebelah barat dengan sebutan siti bhumi sementara di sebelah timur dengan sebutan siti bhumijo.

Magelang pada waktu itu merupakan daerah sebagai kebun milik raja atau kebon dalem, yaitu kebun milik Sri Sunan Pakubuwono. Ini dibuktikan dengan adanya artefak yang sampai saat ini masih ada nama kawasan dengan kekhasan nama hasil kebun sepanjang kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman yang merupakan deretan kebun, antara lain kebun kopi (Botton Koppen), kebun pala (Kebonpolo), kebun kemiri (Kemirikerep), kebun jambu (Jambon) dan kebun bayem (Bayeman). Bersumber dari beberapa data yang ada di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kota lama menurut versi “Kerajaan Mataram Baru ” pada awalnya pada masa "Kerajaan Mataram Kuno" berpusat di Mantyasih dan Poh, berkembang ke arah Timur dengan batas wilayahnya di sekitar Bayeman sampai Potrobangsan dengan pusat di kelurahan Magelang yang saat itu disebut dengan Kebondalem.

Kesimpulan

Ruang-ruang yang ada di kota Magelang ternyata sudah banyak ada sejak jaman mataram kuno yang dibuktikan selain dengan adanya prasasti yang terletak di Magelang juga dari isi prasasti itu sendiri. Ruang-ruang yang ada dimunculkan oleh banyak sebab yang antara lain dikarenakan munculnya daerah-daerah perdikan, tanah sima atau juga penggunaan lahan atau wilayah sebagai peruntukan fungsi kerajaan atau bahkan adanya perebutan kuasaan juga seringkali mengakibatkan munculnya ruang-ruang baru karena adanya konflik ruang. Pemanfaatan beberapa wilayah di Magelang diawal disebabkan dekatnya dengan gunung berapi dan sungai seiring dengan waktu, pada masa Mataram Baru, Magelang dilihat karena tanahnya yang subur dan menguntungkan.

Daftar pustaka

Colombijn, Freek, 2005, Kota Lama Kota Baru, Sejarah Kota-Kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan, Ombak, Yogyakarta

Colombijn, Freek, 2006, Paco-Paco (Kota) Padang, Sejarah Sebuah Kota di Indonesia Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, Ombak, Yogyakarta

Djuliati, 2000, Eksploitasi Kolonial Abad XIX, Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta

Haryono, Timbul, 1994, Aspek teknis dan simbolis artefak perunggu jawa kuno abad VIII-X, Disertasi, Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta

Irma, Saptaningrum, 2007, Pengelolaan Kawasan Arkeologi di Kota Magelang Thesis Fakultas Sastra, Jurusan Arkeologi 2007

Moehkardi,1988, Catatan Bahasan Atas Makalah Drs.Soekimin Adiwiratmoko”Penelususran Nama dan Hari Lahir Kota Magelang”, Magelang

Nessel Van Lissa, 1930, Uit Het Verleden Van Magelang, Magelang

Pemerintah Daerah Kota Magelang, 1998, Hari Jadi Kota Magelang

Raffles, 2008, The History of Java (Terjemahan), Yogyakarta

Riboet, Darmosoetopo,1998, Hubungan tanah sima dengan bangunan kegamaan : di Jawa pada abad IX-X TU . Riboet Darmosoetopo, Disertasi Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta

Utami, Wahyu, 2001, Elemen-Elemen Dominan Dalam Perkembangan Kota Magelang, Thesis S-2 Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Utami, Wahyu, 2004, Pola Permukiman Indis Karya Karsten. Studi Kasus : Kwarasan, Magelang, Jurnal Arsitektur FT UMJ “NALARS”, Volume 3 Nomor 2, Jakarta 2004, ISSN 1412 – 3266


(sudah diterbitkan dalam Proseding dalam Kegiatan Diskusi Nasional ARSITEK SASTRA MATRA, diselenggarakan Jurs. Arsitektur Undip, Semarang, 9 Juni 2009)

.

Tidak ada komentar: