Pernah di presentasikan dalam SEMINAR NASIONAL ”PENELITIAN ARSITEKTUR-METODE DAN PENERANPANNYA SERI KE-2”
Historical approach merupakan suatu pemahaman masa lalu dengan melihat fakta-fakta yang ada baik menyangkut ruang fisik, ruang waktu dan ruang secara umum dalam rentang waktu yang telah dibatasi dengan pendekatan sejarah. Pendekatan sejarah melihat manusia, budaya dan ruang sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dilihat secara parsial.
Berawal dari melakukan interpretasi kemudian melangkah pada tahap eksplanation untuk dapat dijadikan universal teori. Interpretasi merupakan suatu usaha untuk memahami sejarah dengan melihat data-data yang ada sebagai suatu rentetan fenomena. Fenomena yang ada merupakan suatu fakta yang tidak dapat ditafsirkan sepihak artinya peneliti harus melihat data secara murni dan harus tunduk dengan data yang ada. Tafsiran hanya dibutuhkan pada saat terjadi kehilangan sebagian data yang tidak diperoleh di lapangan dan sambil menunggu waktu masih memungkin kan dibuat penafsiran yang harus selalu di jadikan pertanyaan berulang. Misalnya dalam hal ini terjadi penafsiran lokasi istana Kerajaan Mataram Kuno yang sampai saat ini belum ditemukan secara pasti. Sampai saat ini banyak bermunculan intepretasi lokasi istana kerajaan.
Intepretasi sejarah dimulai dengan memunculkan beberapa pertanyaan yang sangat mendasar yang nantinya akan menjadi data yang valid. Pertanyaan itu adalah apa (what), dimana (where), kapan (when) dan siapa (who). Pertanyaan ini tidak sebagai tingkatan hirerkhis hanya sebagai alur pemikiran yang bisa dibolak-balik tergantung kondisi yang ada. Pertanyaan dasar dapat dilakukan dengan mengekplorasi data-data dari berbagai sumber sejarah (misalnya peninggalan fisik berupa buku, candi, prasasti dan buku referensi).
Intepretasi kemudian berkembang pada historical explanation (penjelasan sejarah) yang bisa dimaknai sebagai suatu usaha membuat unit sejarah intelligible yang dapat dimengerti secara cerdas (Kuntowijoyo, 2008 dan Sjamsuddin, 2007). Penjelasan sejarah menurut Kuntowijoyo, 2008, merupakan penafsiran dan mengerti (hermeneutics dan verstehen, yang menjelaskan tentang rentang waktu yang sangat panjang dan merupakan peristiwa tunggal). Penjelasan sejarah dilakukan setelah intepretasi data dirasa sudah mendukung atau tercukupi. Penjelasan sejarah harus dipahami sebagai usaha untuk melihat sejarah masa lalu dengan mampu melakukan secara deskriptif analitis. Pertanyaan pada tahap penjelasan sejarah terdapat dua macam yaitu mengapa (why) dan bagaimana (how). Pertanyaan mengapa dan bagaimana menuntut suatu analisa di belakangnya secara ekploratif. Latar belakang budaya, sudut pandang, konsep ruang sangat mempengaruhi jawaban mengapa dan bagaimana, begitu juga situasi dan kondisi yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Kausalitas sejarah yang menggambarkan sebab akibat antar peristiwa yang dapat dikembangkan menjadi fakta sejarah.Sejarah hendaknya dipahami sebagai fakta tunggal yang tidak dapat diubah dan dimengerti secara sepihak, artinya si peneliti berkewajiban mengikuti alur cerita yang ada dan tunduk pada fakta yang ada (Kuntowijoyo, 2008). Walaupun di satu sisi terjadi pertentangan menyangkut penggunaan interpretasi dalam menganalisis karena seringkali fakta dan data sudah tidak ada. Dalam hal ini si peneliti berhak memahami tanpa harus mengadili.
Eksplorasi sangat dibutuhkan dalam penelitian sejarah karena terkait dengan kedalaman data yang akan tersedia yang tentunya berdampak pada penjelasan yang akan bisa diberikan. Eksplorasi dilakukan dengan melihat data primer yang tersedia. Selain eksplorasi data fisik yang terlihat atau yang masih ada saat ini juga eksplorasi terhadap sumber-sumber data tertulis baik berupa referensi maupun karangan-karangan pada masa sejarah itu terjadi. Data-data fisik bisa berupa bangunan suci (candi), prasasti, daerah-daerah yang sudah ada sejak jaman kerajaan.
Analisa data dilakukan dengan mengekplorasi data yang ada dan menganalisanya dengan metode kualitatif dengan deskripsi yang analitis, sehingga memunculkan temuan data dan teori-teori yang dibangun yang kesemuanya dapat dijadikan universal teori.
B. Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Periode Jawa Tengah yang selanjutkan akan dinamakan Kerajaan Mataram Kuno, berada dalam kisaran waktu 732 – 929 M, dengan masa pemerintahan diawali oleh Raja Sanjaya (732 – 746 M) dan berakhir pada masa Raja Wawa (928-929) yang kemudian berpindah ke Jawa Timur. Kepindahan istana kerajaan disebabkan antara lain adanya pemberontakan yang dilakukan rakyat karena adanya kerja paksa dalam pembangunan Borobudur, depopulasi akibat adanya penyakit yang mematikan, serangan dari Kerajaan Sriwijaya, terjadi pendangkalan dermaga di Pergota dan berubahnya pemikiran bahwa Gunung Panunggalan lebih bagus dijadikan pusat kerajaan dibandingkan dengan Gunung Merapi. (Riboet,1998, Haryono, 1998, Moehkardi,2008, Raffles, 2008 ). Kerajaan Mataram Kuno saat itu lebih dikenal sebagai kerajaan agraris dengan didukung banyaknya gunung yang berapi. Antara lain Gunung Merapi dan Gunung Slamet yang sampai saat ini masih aktif. Banyak prasasti yang menceritakan tentang potensi kondisi fisik kerajaan antara lain Prasasti Canggal (732M), Prasasti Mantyasih (907 M) yang bercerita tentang kemakumran pulau jawa dan disebutkannya beberapa gunung pada saat itu.Letak kerajaan dengan adanya Gunung Merapi kemungkinan berawal dari pertimbangan bahwa suatu pusat kerajaan yang mengutamakan gunung atau tempat tertinggi sebagai pusat kerajaan. Wilayah Kerajaan Mataram Kuno meliputi sebagian wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hal ini bisa terlihat dari peninggalan-peninggalan yang tersebar di kedua wilayah tersebut. Peninggalan ini terkait dengan zone agama, yang bisa dikatakan zone penginggalan agama hindu adalah di sebelah selatan dan di sebelah utara adalah peninggalan agama Budha.
Kerajaan Mataram Kuno sampai saat ini sudah diketemukan kurang lebih 112 prasasti (Riboet, 1998) dengan ribuan candi atau bangunan suci. Bangunan suci tidak selalu berbentuk candi namun terkatang sebidang tanah datar. Sampai saat ini masih muncul pertanyaan yang sebenarnya sangat mendasar yaitu dimana istana kerajaan Mataram Kuno. Beberapa penelitian masih menjadikan letak istana sebagai dugaan yang belum bisa diyakini. Namun pada umumnya semua mengatakan secara umum yaitu bahwa istana Kerajaan Mataram Kuno pernah mengalami perpindahan istana yaitu :
- Istana pertama di Medang I Bhumi Mataram (Yogyakarta) yang dibangun pada masa Sanjaya
- Istana kedua di Medang I Mamrati pada masa pemerintahan Raja Pikatan dengan nama Mamratipura
- Istana ketiga di Medang I Poh Pitu yang dibangun pada masa Raja Balitung. karena terjadi pemberontakan yang mengakibatkan hancurnya istana Mamrati sehingga istana berpindah ke daerah Medang I Poh Pitu dengan nama Yawapura
- Istana keempat dan terakhir untuk Jawa tengah di Medang I Bhumi Mataram (diperkirakan di Yogyakarta)`pada masa Raja Wawa.
Istana Mamrati dan Medang I Poh Pitu menurut beberapa sumber berada di daerah Kedu. Salah satu istana yang diduga adalah Kompleks Candi Boko yang dikatakan sebagai salah satu istana kerajaan terbukti dengan lengkapnya fasilitas yang ada di kompleks candi Boko tersebut. Dikatakan Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berpusat di poros Kedu-Prambanan (Arkeologi.com).
Dari beberapa sumber dikatakan bahwa Pergota (Bergota, Semarang) dahulu merupakan dermaga yang digunakan Mataram Kuno dengan pertimbangan air lautnya lebih tenang dibandingkan dengan laut Selatan (Moehkardi, 2008). Sebelum memutuskan Pergota sebagai dermaga, Kerajaan Mataram Kuno masih bergantung dengan dermaga milik Kerajaan Sriwijaya. Sejalan dengan waktu wilayah pergota mengalami pendangkalan yang berakibat sulitnya Kapal berlabuh sehingga membuat muncul pemikiran untuk mencari dermaga yang lebih besar. Selain Pergota, hasil riset Tim Ekologi UNS mengatakan bahwa tepi Sungai Bengawan Solo di darah Semanggi, Solo dan Langenharjo Sukoharjo juga diceritakan sebagai dermaga Kerajaan Mataram Kuno.
Konsep Arah Mata Angin Terhadap Pemerintan dan Ruang Secara Makro
Raja pada masa jawa kuno dianggap sebagai wakil dewa. Seorang raja atau yang berkeinginan menjadi raja mencari legitimasi dengan menganggap dirinya sebagai titisan dewa di dunia. Misalnya Raja Balitung yang hanya sebagai menantu raja mencari legitimasi dengan mengaku dirinya titisan dewa Rudra (Prasasti Wanua Tengah III dalam Riboet, 1998)
- Raja Sebagai Utusan Dewa
Boechari, 1977 dalam Riboet 1998 menjelaskan tentang Astabrata (delapan perilaku dan sikap) yang menerangkan hak dan kewajiban seorang raja yang dikaitkan dengan tugas dewa , yaitu :
· Raja hendaknya sebagai Dewa Indra (dewa hujan, penjaga arah timur), hendaknya seorang raja yang mengucurkan kebahagiann kepada rakyatnya
· Raja hendaknya berperilaku seperti Dewa Agni (dewa api penjaga arah tenggara), harus membasmi musuh dengan segera
· Raja hendaknya sebagai Dewa Yama (Dewa Kematian, penjaga arah selatan), seorang raja harus menghukum orang yang salah tanpa pandang bulu
· Raja hendaknya sebagai Dewa Surya (Dewa Matahari, penjaga arah barat daya), ia selalu menghisap air secara pelahan selanjutnya dicurahkan ke bumi sebagai hujan maksudnya dalam penarikan pajak dilakukan tanpa membebani rakyat dengan cara pajak ditarik sedikit demi sedkit dan hasil pajak untuk kemakmuran rakyat
· Raja sebagai Dewa Waruna (Dewa Laut, penjaga arah barat) , seorang raja hendaknya mempunyai kecerdasan menghadapi kesulitan
· Raja harus sebagi Dewa Wayu (dewa angin, penjaga arah barat laut), ia harus menyusup ke mana saja untuk mengetahui hal ikhwal tentang rakyatnya
· Raja harus sebagai Dewa Kuwera (dewa kekayaan, penjaga arah utara), raja harus dapat menikmati kekayanaan miliknya
· Raja harus sebagai Dewa Soma(dewa bulan, penjaga arah timur laut), ia harus membahagiakan semua rakyatnya
- Pembagian Wilayah Kekuasaan
Empat arah mata angin sebagai simbol empat dewa penjaga mata angin dijadikan pembagian wilayah. Budiana, 1995, menjelaskan tentang empat jabatan tinggi (Rakryan atau samgat bawan atau rakryan mapatih) yang biasanya dilaksanakan oleh putera mahkot ke-1 sampai putera mahkota ke-4 dengan mendapat ¼ wilayah kekuasaan ibukota dan kerajaan. Empat jabatan tinggi itu adalah Yuwaraja (putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra kedua), Rajakumara (putra raja ketiga) dan Rajaputra (putra raja ke empat). Namun apabila putra raja tidak ada atau tidak menghendaki bisa dijabat oleh adik raja, kemenakan atau paman yang pada prinsipnya masih satu keturunan langsung dari raja.
- Konsep Pengelompokan Wanua
Wanua (desa) dipimpin oleh seorang rama atau tuha wanua. Seringkali karena kepentingan yang sama dan saling bekerja sama, dibentuk lima wanua dengan satu wanua sebagai inti yang berada di tengah. Posisi wanua yang bergabung berdasarkan posisi empat arah mata angin yang diatur oleh seorang rakai atau raka.
Empat desa sebagai simbol empat arah mata angin juga dilakukan pada saat upacara penetapan sima (Riboet, 1998) dengan mendatangkan rama atau tuha wanua dari empat desa di keempat arah mata anginnya. Atau bisa juga dengan mendatangkan delapan rama atau tuha wanua dari delapan desa di sekelilingnya yang sesuai dengan arah mata angin. Ini sebagai simbol dewa penjaga arah mata angin.
- Perletakan Bangunan Suci
Pada umumnya di atas bukit, di dekat sungai, lereng gunung dan di daratan didirikan bangunan suci. Pertimbangan pertama kali pada saat akan membangun bangunan suci adalah dengan melihat lokasi dengan potensi terbesar (Soekmono, 1974). Jika telah memenuhi syarat baru didirikan bangunan sucinya. Bangunan suci yang merupakan tempat singgah sementara para dewa (karena tempat tinggal dewa ada di kayangan) dibangun berdasarkan arah mata angin dengan pertimbangan orientasi kosmis dan chtonic. Orientasi kosmis timbul karena pemikiran manusia yang dihubungkan dengan alam semesta (kosmos) yaitu matahari, bulan dan bintang, sementara orientasi chtonic timbul karena pemikiran orang yang dihubungkan dengan bumi yaitu gunung, laut (air), pohon dan sungai (Winoto, 1998).
Contohnya pemilihan pusat kegiatan religi sebagai tempat pemujaan yang dipilih di Gunung Dieng dengan pemikiran bahwa di Dieng merupakan tempat bersemayamnyapara dewa danpara leluhur. Di Dieng dengan luas sekita 90.000 meter persegi terdapat kompleks candi dengan candi utama dan candi perwaranya dengan style candi hindu.
Bangunan suci salah satunya candi mempunyai style yang hampir seragam tergantung dari pembuatnya, apakah agama hindu atau agama budha. Candi-candi inti dibuat pada umunya lebih besar dari candi perwara. Candi perwara berada di sekeliling candi inti namun tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai lokasinya. Begitu juga dengan prasasti terdiri dari inti dan perwara. Perwara baik untuk candi maupun prasasti biasanya dibuat bukan oleh raja dan dibangun untuk menghormati rajanya.
Perletakan candi yang ada belum menjadi fokus dalam pembahasan ini karena sulitnya membuat pemetaannya, kerena terkakit dengan pertimbangan potensi lingkungannya dan peninggalan di sekelililinya. Misalnya seperti yang terjadi antara Candi Pawon, Candi Mendut dan Candi Borobudur merupakan satu poros .
Pembagian Wilayah dan Pemerintahan
Wilayah kerajaan mengandung arti bahwa disetiap arah mata angin terdapat dewa yang menjaganya. Pembagian wilayah di Kerajaan Mataram Kuno adalah sebagai berikut (Riboet, 1998; Boechari, 1977) :
- Kedaton sebagai pusat kerajaan sebagai tempat tinggal raja dikelilingi tembok pemisah atau beteng. Kedaton sebagai lambang kosmis (alam magic) dikelilingi oleh delapan penjaga mata angin atau astadikpala
- Jeron Beteng sebagai tempat tinggal kerabat raja (permaisuri dan selir) serta tempat tinggal watak I jro (kelompok orang dalam misalnya juru padahi sebagai pemukul kendang, juru widu yaitu pembawa cerita dalang dan mangidun yaitu sinden) dan abdi dalem palawija (pujuj, orang .yang cacat, jenggi bondanyaitu orang kulit hitam, pandak yaitu orang cebol dan wungkuk yaitu orang bongkok)
- Di sekeliling tembok keraton sebagai tempat tinggal para prajurit dan pejabat di bawah Rakryan Kagnap yang bergelar rakai dan pamgat (pemegang lungguh)
- Jobo Beteng sebagai tempat tinggal rakyat biasa. Jobo beteng terdiri dari wanua-wanua, sima, anak thani,lungguh dan pamgat
- Mancanegara sebagai daerah tetangga keraton
Gambar 2. Skema Wilayah Kerajaan Mataram Kuno
(Sumber : Utami, 2009 modifikasi dari Riboet, 1995)
Kerajaan Mataram Kuno hanya mengenal pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat yaitu raja sementara pemerintah daerah yaitu wanua. Sementara pejabat-pejabat yang ada tidak mempunyai hubungan dalam pemerintahan. Pada umumnya pejabat tertentu hanya sekedar fungsinya saja. Pejabat itu antara lain anak thani (anak wanua),, ada rakai yang menjadi pengatur sekelompok wanua. Dalam melaksanakan tugasnya raja dibantu oleh beberapa pejabat tinggi kerajaan yang disebut Sang Mahamantri Katrini atau tuga mahamenteri yaitu Rakryan mahamantri I hino, rakryan mahamantri I halu dan Rakryan mahamantri I sirikan.
Nama-nama wanua bisa ditelusuri dari toponim nama yang ada saat ini yang umumnya juga berdasarkan prasasti sebagai sumber tertulis. Banyak prasasasti yang menyebutkan wanua yang ada di Kerajaan Mataram Hindu dengan wilayah di atasnya atau dibawahnya. Misalnya pada prasasti Poh (905 M), yang menceritakan Wanua Poh mempunyai anak wanua Rumasan dan Nyu yang kesemuanya termasuk lungguh Pamgat Kiniwang, Sementara pada Prasasti Salimar II dan VI tertulis bahwa Wanua Pakuwangi mempunyai anak wanua Kinawuhan, Sukweh, Kawi, Tangkil dan Patahunan. Pada umumnya prasasti menceritakan suatu wanua karena terkair dengan kenaikan status tanahnya atau daerahnya. Misalnya Raja Balitung yang menganggat lima patih yang ada di Mantyasih karena berhasil membantu raja dan mampu mengamankan darah rawan perampok sehingga Mantyasih dijadikan daerah perdikan (prasasti Mantyasih, 907 M.
Selain wanua, prasasti yang telah diketemukan banyak bercerita tentang penetapan status tanah suatu daerah dengan latar belakang pengangkatan status yang berbeda anata satu daerah dengan darah yang lain. Prasasti banyak juga yang bercerita tentang lokasi atau sungai yang kesemuanya dapat menjadi bukti tertulis bahwa peradaban Mataram Kuno saat itu sudah sangat luas bahkan pada masa Balitung Mataram Kuno sudah sampai Jawa timur dan Balo hal ini dibuktkan dengan adanya beberapa prasasti yang diketemukan di daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Budiana, Setiawan, 1995, Pemilihan Kedudukan Pejabat Tinggi Kerajaan Mataram Kuno Pada Abad IX-X Masehi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Kuntowijaya, 2008, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Tiara Wacana, Yogyakarta
Moehkardi, 2008, Bunga Rampai Sejarah Indonesia Dari Borobudur hingga Revolusi 1945, Gama Media, Yogyakarta
Riboet Darmosoetopo, 1998, Hubungan Tanah Sima dengan Bangunan Kegamaan : Di Jawa Pada Abad IX-X TU, disertasi Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Timbul Haryono, 1994, Aspek Teknis dan Simbolis Artefak Perunggu Jawa Kuno Abad VIII-X, disertasi Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Raffles, Stamford, 2008, The History Of Java, Terjemahan, Narasi, Yogyakarta
Sjamsuddin, Helius, 2007, Metodologi Sejarah, Penerbit Ombak 2007
Winoto, Purbo, 1998, Pemilihan Lokasi Pendirian Candi Asu, Candi Pendhem, dan Candi Lumbung serta penyebab kerusakannya, Skripsi Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar